Secara teologis, Islam
merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah (transenden). Pada
posisi ini Islam adalah pandangan dunia (weltanschaung) yang memberikan
kacamata pada manusia dalam memahami realitas.
Meski demikian, secara
sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, realitas sosial kemanusiaan.
Pada wilayah ini nilai-nilai Islam bertemu dan berdialog secara intens dengan
kenyataan hidup duniawi yang selalu berubah dalam partikularitas konteksnya.
Dialog antara
universalitas nilai dan partikularitas konteks menjadi penting dan harus selalu
dilakukan agar misi Islam sebagai rahmat semesta alam dapat diwujudkan.
Ketidakmampuan berdialog dapat menjebak agama pada posisi keusangan (kehilangan
relevansi) atau pada posisi lain kehilangan otentitasnya sebagai pedoman hidup.
Zaman Modern
Modern berarti baru,
saat ini, up to date. Ini adalah makna obyektif modern. Secara subyektif makna
modern terkait erat dengan konteks ruang waktu terjadinya proses modernisasi. Nurcholis
Majid melihat zaman modern merupakan kelanjutan yang wajar pada sejarah
manusia. Setelah melalui zaman pra-sejarah dan zaman agraria di Lembah
Mesopotamia (bangsa Sumeria) sekitar 5000 tahun yang lalu, umat manusia
memasuki tahapan zaman baru, zaman modern, yang dimulai oleh bangsa Eropa Barat
laut sekitar dua abad yang lalu (Majid; 2000, 450).
Zaman baru ini,
menurut Arnold Toynbee seperti yang dikutip oleh Majid, dimulai sejak menjelang
akhir abad ke 15 M ketika orang Barat berterima kasih tidak kepada Tuhan tetapi
kepada dirinya sendiri karena telah berhasil mengatasi kungkungan Kristen abad
pertengahan.
Zaman modern merupakan
hasil dari kemajuan yang dicapai masyarakat Eropa dalam sains dan teknologi.
Pencapaian tersebut berimbas pada terbukanya selubung kesalahan dogma gereja
setelah manusia berhasil mengenal hukum-hukum alam dan menguasainya.
Pengetahuan tersebut menjadi kritik terhadap gereja dan berujung pada sikap
anti gereja. Maka, di era ini, manusia menjadi penguasa atas diri dan hidupnya
sendiri. Doktrin teosentris (kekuasaan Tuhan) yang dihegemonikan gereja selama
abad pertengahan diganti dengan doktrin manusia sebagai pusat kehidupan
(antroposentrisme).
Sebagai kritik atas
masa lalu, zaman modern banyak memutus nilai-nilai dan jalan hidup tradisional
dan digantikan dengan nilai-nilai baru berdasar sains yang dicapai manusia. Di
era ini manusia mencipta pola hidup baru yang berbeda dengan era sebelumnya.
Tentang hal ini David Kolb menyatakan “we are developing something new in
history†(Kolb; 1986,
2).
Kepercayaan diri
manusia modern membuat banyak dari mereka yang mengasumsikan zaman modern
sebagai puncak perkembangan sejarah kemanusiaan. August Comte, salah seorang
ilmuan positivis, mengakui bahwa sejarah peradaban manusia mengalami tiga tahap
perkembangan; 1) teologis, dimana manusia memahami alam sebagai hasil campur
tangan Tuhan. Tahap ini terbagi dalam tiga sub: animisme, politeisme, dan
monoteisme. 2) metafisika. Pada tahap ini peran Tuhan di alam digantikan oleh
prinsip-prinsip metafisika, seperti kodrat. Dan tahap terakhir 3) adalah
positif.
Tahap ini diwarnai
oleh keyakinan yang cukup besar pada kemampuan sains dan
teknologi. Manusia tidak lagi mencari sebab absolut ilahiah dan berpaling pada pemahaman hukum-hukum yang menguasai alam.(Donny Gahral Adian; 2002,
65-66).
teknologi. Manusia tidak lagi mencari sebab absolut ilahiah dan berpaling pada pemahaman hukum-hukum yang menguasai alam.(Donny Gahral Adian; 2002,
65-66).
Penguasaan atas sains
dan teknologi membawa bangsa-bangsa Eropa ke arah kemajuan luar biasa hingga
mampu menandingi dan menguasai bangsa-bangsa Islam. Kolonialisasi menjadi
pilihan yang diambil bangsa-bangsa penguasa baru tersebut. Kolonialisme dilakukan bukan hanya dengan
senjata mesin, tetapi juga tata nilai, ideologi dan kultur. Maka, terjadilah pergesekan
antara nilai baru yang dibawa oleh bangsa kolonial dengan kultur asli bangsa
muslim.
Tantangan Modernitas
Pergulatan modernitas
dan tradisi dalam dunia Islam melahirkan upaya-upaya pembaharuan terhadap
tradisi yang ada. Harun Nasution menyebut upaya tersebut sebagai gerakan
pembaruan Islam, bukan gerakan modernisme Islam. Menurutnya, modernisme
memiliki konteksnya sebagai gerakan yang berawal dari dunia Barat bertujuan
menggantikan ajaran agama Katolik dengan sains dan filsafat modern. Gerakan ini
berpuncak pada proses sekularisasi dunia Barat (Nasution; 1975, 11).
Berbeda dengan
Nasution, Azyumardi Azra lebih suka memakai istilah modern dari pada pembaruan.
Azra beralasan penggunaan istilah pembaruan Islam tidak selalu sesuai dengan
kenyataan sejarah. Pembaruan dalam dunia Islam modern tidak selalu mengarah
pada reaffirmasi Islam dalam kehidupan muslim. Sebaliknya, yang sering terjadi
adalah westernisasi dan sekularisasi seperti pada kasus Turki (Azra; 1996, xi)
Apa yang disampaikan Azra adalah kenyataan modernisme dalam makna subyektifnya, sedangkan Nasution mencoba melihat modern dengan makna obyektif. Memang harus diakui, ekspansi gagasan modern oleh bangsa Barat tidak hanya membawa sains dan teknologi, tetapi juga tata nilai dan pola hidup mereka yang sering kali berbeda dengan tradisi yang dianut masyarakat obyek ekspansi.
Apa yang disampaikan Azra adalah kenyataan modernisme dalam makna subyektifnya, sedangkan Nasution mencoba melihat modern dengan makna obyektif. Memang harus diakui, ekspansi gagasan modern oleh bangsa Barat tidak hanya membawa sains dan teknologi, tetapi juga tata nilai dan pola hidup mereka yang sering kali berbeda dengan tradisi yang dianut masyarakat obyek ekspansi.
Baik dalam makna
obyektif atau subyektifnya, modernitas yang diimpor dari bangsa Barat membuat
perubahan dalam masyarakat muslim, di segala bidang. Pada titik ini umat Islam
dipaksa memikirkan kembali tradisi yang pegangnya berkaitan dengan perubahan
yang sedang terjadi. Respons ini kemudian melahirkan gerakan-gerakan pembaruan.
Tetapi, pembaruan
Islam bukan sekedar reaksi muslim atas perubahan tersebut. Degradasi kehidupan
keagamaan masyarakat muslim juga menjadi faktor penting terjadinya gerakan
pembaruan. Banyak tokoh-tokoh umat yang menyerukan revitalisasi kehidupan
keagamaan dan membersihkan praktek-praktek keagamaan dari tradisi-tradisi yang
dianggap tidak islami.
Islam Dan Perubahan
Muara yang diharapkan
dari proses dialektika nilai-nilai Islam dengan modernitas adalah keberlakuan
Islam di era modern. Ini terjadi jika upaya tersebut berhsil dengan baik.
Sebaliknya, ketidakberhasilan proses tersebut dapat membuat agama kehilangan
relevansinya di zaman modern. Peristiwa penolakan terhadap geraja di awal zaman
modern di Eropa dapat terulang kembali dalam konteks yang berbeda, dunia Islam.
Islam memiliki potensi kuat untuk menjawab tantangan tersebut.
Islam memiliki potensi kuat untuk menjawab tantangan tersebut.
Ernest Gellner,
seperti yang dikutip Majid, menyatakan bahwa di antara tiga agama monoteis;
Yahudi, Kristen dan Islam, hanya Islamlah yang paling dekat dengan modernitas.
Ini karena ajaran Islam tentang universalisme, skripturalisme (ajaran bahwa
kitab suci dapat dibaca dan dipahami oleh siapa saja, tidak ada kelas tertentu
yang memonopoli pemahaman kitab suci dalam hierarki keagamaan), ajaran tentang
partisipasi masyarakat secara luas (Islam mendukung participatory democracy),
egalitarianisme spiritual (tidak ada sistem kerahiban-kependetaan), dan
mengajarkan sistematisasi rasional kehidupan sosial (Majid, 467).
Yusuf Qardhawi menilai
kemampuan Islam berdialog secara harmoni dengan perubahan terdapat dalam jati
diri Islam itu sendiri. Potensi tersebut terlihat dari karakteristik Islam
sebagai agama rabbaniyah (bersumber dari Tuhan dan terjaga otentitasnya),
insaniyah (sesuai dengan fitrah dan demi kepentingan manusia), wasthiyyah
(moderat-mengambil jalan tengah), waqiiyah (kontekstual), jelas dan harmoni
antara perubahan dan ketetapan (Qardhawi; 1995).
Pembaruan Islam
Meski Islam potensial
menghadapi perubahan, tetapi aktualitas potensi tersebut membutuhkan peran
pemeluknya. Ketidakmampuan pemeluk Islam dapat berimbas pada tidak
berkembangnya potensi yang ada. Ungkapan yang sering dipakai para pembaru Islam
untuk menggambarkan hal ini adalah “al-Islam mahjub bi al-muslimin).
Dalam
mengaktualisasikan potensi tersebut, pemeluk Islam difasilitasi dengan intitusi
tajdid (pembaruan, modernisasi). Ada dua model tajdid yang dilakukan kaum
muslim: seruan kembali kepada fundamen agama (al-Qur’an dan hadith), dan
menggalakkan aktivitas ijtihad. Dua model ini merupakan respons terhadap
kondisi internal umat Islam dan tantangan perubahan zaman akibat modernitas.
Model pertama disebut purifikasi, upaya pemurnian akidah dan ajaran Islam dari
percampuran tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan Islam. Sedang model kedua
disebut dengan pembaruan Islam atau modernisme Islam (Achmad Jainuri; 1995,
38).
Di sini, Tajdid memiliki peranan yang signifikan. Ketiadaan rasul pasca Muhammad SAW. bukan berarti tiadanya pihak-pihak yang akan menjaga otentitas dan melestarikan risalah Islam. Jika sebelum Muhammad SAW. peranan menjaga dan melestarikan risalah kerasulan selalu dilaksanakan oleh nabi atau rasul baru, pasca Muhammad SAW. peran tersebut diambil alih oleh umat Islam sendiri. Rasul Muhammad SAW. pernah menyatakan bahwa ulama` merupakan pewarisnya, dan di lain kesempatan ia menyatakan akan hadirnya mujaddid di setiap seratus tahun.
Dalam proses tersebut,
setiap ajaran Islam mengalami pembaruan yang berbeda-beda, bahkan ada yang
tidak boleh disentuh sama sekali. Aqidah dan ibadah merupakan domain yang
sangat tabu tersentuh proses perubahan. Yang bisa dilakukan dalam kedua wilayah
tersebut adalah pembersihan dari aspek-aspek luar yang tidak berasal dari
doktrin Islam. Di sini berlaku kaidah “semua dilarang kecuali yang diperintah”.
Berbeda dengan itu, aspek muamalah (interaksi sosial) merupakan wilayah gerak tajdid dengan sedikit tabu di dalamnya. Pada aspek ini nilai-nilai Islam mewujudkan dirinya berupa paradigma (cara pandang) kehidupan.
Berbeda dengan itu, aspek muamalah (interaksi sosial) merupakan wilayah gerak tajdid dengan sedikit tabu di dalamnya. Pada aspek ini nilai-nilai Islam mewujudkan dirinya berupa paradigma (cara pandang) kehidupan.
Ajaran Islam
menyediakan pedoman-pedoman dasar yang harus diterjemahkan
pemeluknya sesuai dengan konteks ruang waktu yang melingkupinya. Pada wilayah ini yang berlaku adalah kaidah “semua dibolehkan kecuali yang dilarang”.
pemeluknya sesuai dengan konteks ruang waktu yang melingkupinya. Pada wilayah ini yang berlaku adalah kaidah “semua dibolehkan kecuali yang dilarang”.
Menurut Kuntowijoyo (Kuntowijoyo;
1997, 170) penerjemahan nilai-nilai tersebut bisa dilakukan secara langsung
maupun tidak langsung. Yang pertama berangkat dari nilai ajaran langsung ke
wilayah praktis. Ilmu fiqh merupakan salah satu perwujudan yang pertama ini.
Sementara yang kedua berangkat dari nilai ke wilayah praktis dengan melalui
proses filsafat sosial dan teori sosial terlebih dahulu (nilai-filsafat
sosial-teori sosial). Sebagai contoh adalah ayat yang menjelaskan Allah tidak
akan
merubah suatu kaum jika mereka tidak merubah dirinya sendiri. Nilai perubahan ini harus diterjemahkan menjadi filsafat perubahan sosial, kemudian menjadi teori perubahan dan baru melangkah di wilayah perubahan sosial.
merubah suatu kaum jika mereka tidak merubah dirinya sendiri. Nilai perubahan ini harus diterjemahkan menjadi filsafat perubahan sosial, kemudian menjadi teori perubahan dan baru melangkah di wilayah perubahan sosial.
Keberadaan tajdid
menjadi bukti penting penghargaan Islam terhadap kemampuan manusia. Batas-batas
yang ada dalam proses tajdid bukan merupakan pengekangan terhadap kemampuan
manusia, tetapi sebagai media mempertahankan otentisitas risalah kenabian.
Ketika agama hanya menghadirkan aspek-aspek yang tetap, abadi, tidak bisa
berubah maka yang terjadi adalah ketidakmampuan agama mempertahankan diri
menghadapi zaman. Akibatnya, agama akan kehilangan relevansinya. Ini seperti
yang terjadi pada gereja di abad pertengahan.
Sebaliknya, jika
aspek-aspek yang tetap, abadi dan tidak berubah tersebut tidak ada dalam agama,
maka agama akan kehilangan otentitasnya sebagai pedoman hidup manusia. Di
sinilah, kekhasan Islam seperti yang disebut Qardhawi di atas berperan. Islam
berdiri di tengah-tengah. Islam mengandungi ketetapan-ketetapan di satu sisi,
dan keluwesan-keluwesan di sisi lainnya. Dengan sikap terebut Islam bisa tetap
eksis di tengah perubahan zaman tanpa kehilangan otentitasnya sebagai agama
ilahiah.
Gagasan pembaharuan
Islam dapat dilacak di era pra-modern pada pemikiran Ibn Taymiyah (abad 7-8
H/13-14 M). Taymiyah banyak mengkritik praktek-praktek islam populer yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam dan menyerukan kembali kepada syariat. Gerakan lain
dilakukan oleh Muhammad Abdul Wahab di Arabia pada abad ke 18 M yang menolak
dengan keras tradisi yang tidak Islami (Jainuri; 2002, 15-17).
Jika pembaharuan
pra-modern dilakukan sebagai otokritik praktek keagamaan populer masyarakat
muslim, pembaruan era modern merupakan respons umat Islam terhadap tantangan
yang ditawarkan oleh modernitas Barat. Di era ini tercatat beberapa tokoh yang
cukup populer seperti al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, Sayyid Sabiq, Muhammad
Iqbal, dll.
Proses pembaharuan era
modern mengalami dinamikaa yang cukup kompleks. Keinginan harmonisasi Islam
dengan modernitas melahirkan banyak pemikir dengan karakteristik yang
berbedaa-beda. Sebagian pemikir tampak wajah puritanismenya, dan sebagian yang
lain condong pada modernitas, bahkan, terjebak pada pengagungan nilai-nilai
modern (seperti sekularisme).
Penutup
Modernitas yang
melanda dunia Islam, dengan segala efek positif-negatifnya, menjadi tantangan
yang harus dihadapi umat Islam di tengah kondisi keterpurukannya. Umat Islam
dituntut bekerja ekstra keras mengembangkan seagala potensinya untuk
menyelesaikan permasalahannya. Tajdid sebagai upaya menjaga dan melsetarikan
ajaran Islam menjadi pilihan yang harus dimanfaatkan secara maksimal oleh umat
Islam. Upaya tajdid harus terus dilakukan, tidak boleh berhenti meski
memerlukan cost yang besar. Wallahu a`lam
Tag :
MAKALAH PAI
0 Komentar untuk "Islam Dan Tantangan Modernitas"