BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Yang melatar belakangi
membuat makalah dengan judul Pengulangan Tindak Pidana ( Recidive ), ini
adalah untuk memenuhi Tugas mata kuliah Hukum Pidana Fakultas Hukum Semester II
– Universitas Trunojoyo, dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami salah satu
bab mengenai tentang Pengulangan Tindak Pidana ( Recidive ).
Recidive terjadi dalam hal seseorang yang melakukan tindak pidana dan
telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi.
Sama seperti dalam concursus relais, dalam recidive terjadi beberapa tindak
pidana. Namun dalam recidive telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan
hukum tetap.
Recidive merupakan alasan yang dapat memperberat pemidanaan. Sebagai
contoh, seperti yang diatur dalam Pasal 12 KUHP bahwa karena alasan recidive
pidana penjara boleh diputuskan sampai 20 tahun, walaupun secara umum pidana
penjara maksimum dijatuhkan selama 15 tahun.
Recidive tidak diatur secara umum dalam Buku I "Aturan Umum",
namun diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu baik yang
berupa kejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III. Dengan
demikian, KUHP Indonesia saat ini menganut sistem recidive khusus,artinya pemberatan pidana hanya dikenakan
terhadap pengulangan jenis tindak pidana tertentu saja dan dilakukan dalam
tenggang waktu tertentu.
Rumusan
Masalah
1.
Definisi Recidive
2.
Recidive kejahatan dan beserta unsur-unsurnya
3.
Recidive pelanggaran
4. Dan
tujuan penghukuman beserta teori yang ada
Tujuan
Permasalahan
1. Agar
dapat memahami tentang pengertian Recidive
2. Untuk
memahami Recidive kejahatan dan unsur-unsurnya
3. Untuk
Memahami Recidive Pelanggaran yang ada pada Buku II KUHP
4. Untuk
mengetahui tujuan penghukumannya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Recidive
Recidive atau pengulangan tindak
pidana terjadi pada dalam hal seorang yang melakukan suatu tindak pidana dan
telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap,
kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi. Recidive ini menjadi alasan untuk
memperberat pemidanaan.
Sistem
Pemberatan Pidana Berdasarkan Recidive
Sistem pemberatan pidana berdasarkan recidive dibagi menjadi dua yaitu :
Recidive Umum
Dalam sistem ini
dianut bahwasanya setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan
dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk pemberatan pidana. Dalam
sistem ini tidak dikenal adanya daluarsa recidive.
Recidive Khusus
Menurut sistem ini
tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan
pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis
tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu pula.
B. Recidive Kejahatan Beserta Unsur-unsur Kejahatan
Recidive kejahatan
menurut KUHP adalah recidive ( kejahatan-kejahatan tertentu ), yang membedakan
antara lain :
Recidive terhadap kejahatan-kejahatan yang sejenis
Mengenai hal tersebut
diatur secara tersebar dalam sebelas pasal-pasal tertentu dalam buku II KUHP,
yaitu pasal 137 ayat 2, 144 ayat 2, 157 ayat 2, 161 ayat 2, 163 ayat 2,208 ayat
2, 216 ayat 3, 321 ayat 2, 293 ayat 2, dan 303 bis ayat 2.
Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam
kelompok jenis.
Yang termasuk
recidive jenis ini diatur dalam pasal 486, 487 dan 488 KUHP.
Menurut Edwin: H.
Sutherland dalam bukunya Principles of Criminology menyebutkan tujuh unsur
kejahatan yang saling bergantungan dan saling mempengaruhi. Suatu perbuatan
tidak akan disebut kejahatan kecuali apabila memuat semua tujuh unsur tersebut.
Unsur-unsur tersebut adalah :
Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian.
Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus dikemukakan
dengan jelas dalam hukum pidana.
Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan yang
disengaja atau sembrono yang menimbulkan akibat-akibat yang merugikan.
Harus ada maksud jahat ( mens rea )
Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan
kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan.
Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang
undang-undang dengan perbuatan yang disengaja atas keinginan sendiri.
Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.
Selanjutnya dapat
diuraikan tentang pengertian kejahatan menurut penggunaannya masing-masing :
a. Pengertian secara
praktis : Kita mengenal adanya beberapa jenis norma dalam masyarakat antara
lain norma agama, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang berasal dari adat
istiadat. Pelanggaran atas norma tersebut dapat menyebabkan timbulnya suatu
reaksi, baik berupa hukuman, cemoohan atau pengucilan. Norma itu merupakan
suatu garis untuk membedakan perbuatan terpuji atau perbuatan yang wajar pada
suatu pihak, sedang pada pihak lain adalah suatu perbuatan tercela. Perbuatan
yang wajar pada sisi garis disebut dengan kebaikan dan kebalikannya yang di
seberang garis disebut dengan kejahatan.
b. Pengertian secara
religius : mengidentikkan arti kejahatan dengan dosa. Setiap dosa diancam
dengan hukman api neraka terhadap jiwa yang berdosa
c. Pengertian dalam arti
juridis : misalnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Walaupun KUHP
sendiri tidak membedakan dengan tegas antara kejahatan dan pelanggaran, tapi
KUHP memisahkan kejahatan dan pelanggaran dalam 2 buku yang berbeda.
Menurut Memorie van Toelichting, sebagai dasar dari pembedaan antara
kejahatan dan pelanggaran adalah pembedaan antara rechtsdelicten (delik hukum)
dan wetsdelicten (delik undang-undang). Pelanggaran termasuk dalam
wetsdelicten, yaitu peristiwa-peristiwa yang untuk kepentingan umum dinyatakan
oleh undang-undang sebagai suatu hat yang terlarang.
Misalnya mengendarai sepeda pada malam hari tanpa lampu merupakan suatu
delik undang-undang karena undang-undang menyatakannya sebagai perbuatan yang
terlarang.
Sedangkan kejahatan termasuk dalam rehtsdelicten (delik hukum), yaitu
peristiwa-peristiwa yang berlawanan atau bertentangan dengan asas-asas hukum
yang hidup dalam keyakinan manusia dan terlepas dari undang-undang.
Contohnya adalah pembunuhan dan pencurian. Walaupun perbuatan itu
(misalnya) belum diatur dalam suatu undang-undang, tapi perbuatan itu sangat
bertentangan dengan hati nurani manusia, sehingga dianggap sebagai suatu
kejahatan.
C. Recidive Pelanggaran
Terdapat 14
jenis pelanggaran di dalam Buku II KUHP yang apabila diulangi dapat merupakan
alasan untuk adanya pemberatan pidana, yaitu : pasal 489, 492, 495, 501, 512,
516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549.
Adapun yang menjadi syarat-syarat recidive pelanggaran
adalah sebagai berikut :
Pelanggaran yang diulangi
harus sama atau sejenis dengan pelanggaran yang terdahulu.
Harus sudah ada putusan
Hakim yang berkekuatan hukum tetap untuk pelanggaran terdahulu.
Tenggang waktu
pengulangannya baru lewat 1 atau 2 tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang
berkekuatan tetap.
Belum lewat 1 tahun untuk
pelanggaran pasal 489, 492, 495, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549.
Belum lewat 2 tahun untuk
pelanggaran pasal 501, 512, 516, 517, dan 530.
Tujuan Penghukuman
Apabila berbicara
mengenai penghukuman, maka pertanyaan yang kerapkali muncul adalah apakah
tujuan hukuman itu dan siapakah yang berhak menjatuhkan \ hukuman. Pada umumnya
telah disepakati bahwa yang berhak menghukum (hak puniendi)
adalah di dalam tangan negara (pemerintah). Pemerintah dalam menjatuhkan
hukuman selalu dihadapkan pada suatu paradoksalitas, yang oleh Hazewinkel-Suringa
dilukiskan sebagai berikut :
Pemerintah negara
harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak
disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah
negara menjatuhkan hukuman, dan karena menjatuhkan hukuman itu maka pribadi
manusia tersebut oleh pemerintah negara sendiri diserang, misalnya yang
bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan
melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan dipihak
lain pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan
dibela itu.
Orang berusaha untuk
menunjukkan alasan apakah yang dapat dipakai untuk membenarkan penghukuman oleh
karena menghukum itu dilakukan terhadap manusia-manusia yang juga mempunyai hak
hidup, hak kemerdekaan bahkan mempunyai hak pembelaan dari negara itu juga yang
menghukumnya. Maka oleh karena itu muncullah berbagai teori hukuman, yang pada
garis besarnya dapat dibagai atas tiga golongan :
a. teori absolut atau teori
pembalasan
b. teori relatif atau teori
tujuan
c. teori gabungan
a. Teori absolut
Tokoh-tokoh yang
terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah Kant dan
Hegel. Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu konsekwensi
daripada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab melakukan kejahatan, maka
akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan
kejahatan. Semua perbuatan yang temyata berlawanan dengan keadilan, harus
menerima pembalasan. Apakah hukuman itu bermanfaat bagi masyarakat, bukanlah
hal yang menjadi pertimbangan, tapi hukuman harus dijatuhkan. Untuk menghindari
hukuman ganas, maka Leo Polak menentukan tiga syarat yang harus dipenuhi
dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
1. Perbuatan yang dilakukan
dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang
bertentangan dengan
etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif
2. Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman
tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi
3. Beratnya hukuman harus seimbang
dengan beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dihukum secara tidak
adil.
Gerson W. Bawengan dalam bukunya Pengantar Psychologi Kriminil menyatakan bahwa ia menolak
teori absolut atau teori pembalasan itu yang dikemukakan dalam bentuk apapun,
berdasarkan tiga unsur, yaitu :
1. Tak ada yang absolut
didunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Esa.
2. Pembalasan
adalah realisasi daripada emosi, memberikan pemuasan emosionil kepada pemegang
kekuasaan dan merangsang ke arah sifat-sifat 'sadistis', sentimentil. Oleh
karena itu kepada para penonjol teori pembalasan itu, dapatlah diterka bahwa
mereka memiliki sifat-sifat sadistis. Dan kerena itu pula ajaran mereka lebih
condong untuk dinamai teori sadisme.
3. Tujuan hukuman dalam teori itu adalah hukuman itu sendiri. Dengan
dernikian teori itu mengalami suatu jalan buntu, oleh karena tujuannya hanya
sampai pada hukuman itu sendiri. adalah suatu tujuan yang tak bertujuan, sebab
dipengaruhi dan disertai nafsu membalas.
b. Teori relatif atau teori
tujuan
Para penganjur teori
relatif tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan, dan karena itu tidak
mengakui bahwa hukuman itu sendirilah yanag menjadi tujuan penghukuman,
melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang lain
daripada penghukuman itu sendiri. Hukuman, dengan demikian mempunyai tujuan,
yaitu untuk melindungi ketertiban. Para pengajar teori relatif itu menunjukkan
tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum.
Menghindarkan, agar umumnya orang tidak melakukan pelanggaran bahkan ditujukan
pula bagi terhukum agar tidak mengulangi pelanggaran.
Dengan demikian maka
hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat prevensi umum dan sifat prevensi
khusus. Dengan prevensi umum, orang akan menahan diri untuk tidak melakukan
kejahatan. Dan dengan prevensi khusus para penganjurnya menitikberatkan bahwa
hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang yang telah dijatuhi hukuman, tidak
mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnyaa bagi mereka yang hendak melakukan
peianggaran akan mengurungkan maksudnya sehingga pelanggaran tidak
dilaksanakan.
c. Teori Gabungan
Menurut teori
gabungan hukuman hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan
ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan
pada saiah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua
unsur yang telah ada.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kejahatan adalah
suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat itu ada. Kejahatan selalu
akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya
dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun.
Segala daya upaya
dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau menguranagi meningkatnya
jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar dapat kembali sebagai warga
masyarakat yang baik.
Masalah pencegahan
dan penanggulangan kejahatan, tidaklah sekedar mengatasi kejahatan yang sedang
terjadi dalam lingkungan masyarakat, tapi harus diperhatikan pula, atau harus
dimulai dari kondisi yang menguntungkan bagi kehidupan manusia. Perlu digali, dikembangkan
dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat dalam
upaya untuk menanggulangi kejahatan. Hal itu menjadi tugas dari setiap kita,
karena kita adaIah bagian dari masyarakat.
Daftar Pustaka
Muhammad, Gerry R, KUHP & KUHAP, Permata press, 2007.
Prof, Dr, Prodjodikoro Wirjono SH, Asas-asas HUKUM PIDANA Di
Indonesia, retika aditama, 2003
Windari. Rusmilawati SH MH, Buku Ajar Hukum Pidana, Bangkalan,
2009.
www.google.com artikel pengulangan tindak
pidana.
www.google.com Edwin H. Sutherland, Asas-Asas
Kriminologi, Alumni, Bandung, 1969.
www.google.com Recedive.
Tag :
Makalah Hukum
1 Komentar untuk "Makalah Pengulangan Tindak Pidana (Recidive)"
Kurang sip