BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Urusan perkawinan di Indonesia dipayungi oleh Undang-Undang Perkawinan No.
1 tahun 1974 serta diatur ketentuannya dalam Kompilasi Hukum Islam. Saripati
aturan-aturan Islam mengenai perkawinan, perceraian, perwakafan dan pewarisan
ini bersumber dari literatur-literatur fikih Islam klasik dari berbagai madzhab
yang dirangkum dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Kedua
dasar hukum mengenai perkawinan dan urusan keluarga tersebut diharapkan dapat
menjadi pijakan hukum bagi rakyat Indonesia yang akan melaksanakan perkawinan.
Namun dalam praktek pelaksanaan perkawinan yang berlaku di masyarakat, banyak
muncul hal-hal baru yang bersifat ijtihad, dikarenakan tidak ada
aturan yang tertuang secara khusus untuk mengatur hal-hal tersebut.
Kurang lebih satu dekade yang lalu, muncul peristiwa menarik dalam hal
pelaksanaan akad nikah yang dilakukan secara tidak lazim dengan menggunakan
media telepon. Kemudian status pernikahan ini dimohonkan pengesahannya melalui
Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan status
hukumnya dikukuhkan dengan dikeluarkannya Surat Putusan No. 1751/P/1989. Meski
Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengesahkan praktek semacam ini, namun putusan
ini tetap dianggap riskan. Kabarnya, Mahkamah Agung menegur hakim yang
memeriksa perkara tersebut karena dikhawatirkan menimbulkan preseden yang tidak
baik.
Peristiwa
yang serupa dengan itu terulang kembali. Kali ini praktek akad nikah tertolong
dengan dunia teknologi yang selangkah lebih maju dengan menggunakan fasilitas video
teleconference. Teknologi video teleconference lebih mutakhir
dari telepon, karena selain menyampaikan suara, teknologi ini dapat menampilkan
gambar atau citra secara realtime melalui jaringan internet. Hal ini
seperti yang dipraktekkan oleh pasangan Syarif Aburahman Achmad ketika menikahi
Dewi Tarumawati pada 4 Desember 2006 silam. Ketika pelaksanaan akad nikah, sang
mempelai pria sedang berada di Pittsburgh, Amerika Serikat. Sedangkan pihak
wali beserta mempelai wanita berada di Bandung, Indonesia. Kedua belah pihak
dapat melaksanakan akad nikah jarak jauh berkat layanan video
teleconference dari Indosat.
Hal ini tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pasangan Sirojuddin
Arif dan Iim Halimatus Sa'diyah. Dengan memanfaatkan teknologi ini, mereka
melangsungkan akad nikah mereka pada Maret 2007 silam. Hanya perbedaannya
adalah, kedua mempelai sedang berada di aula kampus Oxford University, Inggris,
sedangkan wali mempelai berada di Cirebon, Indonesia ketika akad nikah
dilangsungkan.
Fenomena seperti ini menggelitik untuk dikaji dan dikomentari oleh para
pakar hukum keluarga Islam di Indonesia. Oleh sebab praktik akad nikah jarak
jauh dengan menggunakan media teknologi ini belum pernah sekalipun dijumpai
pada jaman sebelumnya. Praktek akad nikah pada jaman Nabi dan para Salafus
shalih hanya menyiratkan diperbolehkannya metode tawkil, yakni
pengganti pelaku akad apabila pihak pelaku akad (baik wali maupun mempelai
pria) berhalangan untuk melakukannya. Oleh karena itu, penulis juga tertarik
untuk memaparkan tentang fenomena nikah jarak jauh tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan pada bagian
sebelumnya, penulis mengajukan beberapa masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana hukum
akad nikah melalui telepon?
2.
Apa dasar-dasar
yang dipakai dalam menentukan hukum akad nikah melalui telepon?
3.
Bagaimana
metode ijtihad dalam menentukan hukum akad nikah melalui telepon?
1.3. Ruang Lingkup
Dalam makalah ini, penulis
membatasi masalah yang akan dibahas pada materi kuliah Agama. Pembahasan lebih
dikhususkan pada masalah pernikahan jarak jauh.
1.4.
Maksud dan Tujuan
Maksud dari penyusunan tugas
ini adalah untuk memenuhi dan melengkapi salah satu tugas mata kuliah Agama di
Bina Sarana Informatika. Sedangkan tujuan dari penulisan tugas ini adalah:
1. Mengembangkan kreativitas dan wawasan
penulis.
2. Memberikan uraian tentang analisa hukum Islam terhadap pernikahan jarak jauh.
3. Menelaah lebih lanjut mengenai hukum nikah
jarak jauh.
1.5.
Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penyusunan
tugas ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut :
a.
Metode Studi Pustaka
Metode yang dilakukan dengan membaca buku-buku serta
referensi-referensi yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam tugas ini.
Penulis membaca beberapa buku
yang berkaitan dengan pernikahan menurut hukum Islam.
b. Metode Browsing Internet, yaitu metode yang
dilakukan dengan mencari referensi-referensi yang berkaitan dengan masalah yang
dibahas dalam tugas ini di internet.
1.6.
Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembaca dalam mempelajari dan
mengetahui isi makalah ini, berikut ini akan dijabarkan sistematika penulisan
makalah ini, yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini, penulis menguraikan tentang latar belakang penulisan,
rumusan masalah, ruang lingkup, maksud dan tujuan, metode pengumpulan data,
serta sistematika penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
Bab ini merupakan bab utama makalah yang berisi
tentang ........................
BAB III PENUTUP
Dalam bab ini, penulis menguraikan tentang
kesimpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Umum
Nikah atau perkawinan ialah
akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang bukan muhrim sehingga menimbulakn hak dan kewajiban antara
keduannya. Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Islam menganjurkan umatnya untuk menikah dan melarang tidak menikah.
Larangan tidak menikah terdapat dalam Al Qur’an
surat Al Hadid ayat 27 yang artinya “Kemudian Kami iringi di belakang mereka
dengan Rosul-Rosul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa Putra Maryam ; dan
Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang
mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-ada RAHBANIYAH
padahal Kami tidak mewajibkan kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adanya)
untuk mencari keridhoan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan
pemeliiharaan yang semestinya. Maka Kami berikan pada orang-orang yang beriman
di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.“
Rahbaniyah adalah tidak beristri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam
biara. Rosulullah saw. bersabda, “Sedangkan aku shalat, aku tidur,
aku puasa, aku berbuka, aku menikahi wanita, maka barang siapa yang membenci
sunnahku bukanlah termasuk umatku.” (HR. Muslim No. 1401)
Anjuran untuk menikah terdapat
dalam Al Qur’an surat Ar Rum ayat 21 yang artinya “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.“
2.1.1. Hukum Nikah
Hukum nikah ada 4, yaitu:
1. Jaiz adalah boleh (merupakan dasar dari
hukum nikah).
2. Sunnah adalah bagi orang yang berkehendak
dan cukup belanjanya (nafkah dan lain-lain).
Sabda
Nabi Muhammad saw. yang artinya “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menggantikan
kependetaan itu dengan agama yang lurus dan lapang.“
Abu
Abbas berkata, “Tidak tercapai kesempurnaan orang beribadah sebelum ia kawin
terlebih dahulu.“
3. Wajib adalah bagi orang yang cukup
mempunyai nafkah dan khawatir akan terjerumus maksiat.
4. Makruh adalah bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah, namun sudah
punya hasrat menikah yang kuat.
2.1.2. Tujuan Nikah
Tujuan menikah adalah :
1. Mengikuti Sunnah Rosul
Sabda Nabi saw. yang artinya
“Ada empat macam di antara sunnah pada Rosul yakni : berinai, memakai
wangi-wangian, menggosok gigi dan menikah.“
2. Membentuk keluarga sakinah, mawadah, dan
warohmah (bahagia lahir dan batin) yang dapat terbina apabila masing-masing
anggota keluarga melaksanakan fungsinya. Sebagaimana tersebut dalam Surat Ar
Rum ayat 21 dan dalam UU RI Nomor 1 Tahun 1974.
3. Untuk memenuhi kebutuhan biologis yang
diridhoi Allah swt.
4. Untuk memperoleh keturunan yang sah.
2.1.3.
Rukun Nikah
Pengertian rukun yaitu sesuatu yang hakikat syariat tidak terwujud
kecuali dengannya. Rukun nikah ada 5,
yaitu :
1. Calon Suami
2. Calon Istri
3. Sighat akad (ijab qabul)
4. Wali mempelai perempuan
Sabda Nabi saw yang artinya “Perempuan
mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahan itu batal (tidak
sah).“ (HR. Empat orang ahli hadist kecuali Nasa’i).
5. Dua orang saksi
Sabda Rosulullah saw. yang
artinya “Tidak sah menikah melainkan dengan walinya dan dua orang saksi yang
adil.“
2.1.4. Akad Nikah
Ketika taaruf antara ikhwan dan akhwat sudah semua
disepakati, maka disunahkan untuk segera mengkhitbahnya, dan segera
dilangsungkan akad nikah untuk menghindari fitnah. Perlu kita ketahui bahwa
dalam akad nikah hal-hal yang disyariatkan dan wajib ada adalah :
1. Adanya suka sama suka antara kedua calon
mempelai
2. Adanya Wali
3. Adanya Saksi
4. Adanya Mahar
5. Adanya Ijab Qabul
Dan menurut sunnah, sebelum
akad nikah dimulai, terlebih dahulu diadakan khutbah yang dinamakan ”khutbatun
nikah”.
Suka sama suka antara kedua
calon mempelai adalah sebuah keharusan, karena mereka berdua yang akan
menjalani hidup berumah tangga maka dibutuhkan keikhlasan diantara keduanya.
Maka taaruf sebelum pernikahan dan melihat calon sebelum pernikahan sangat
dianjurkan
Wali sebagaimana kita tahu
adalah ayah dari calon mempelai wanita yang seagama, jika tidak ada maka bisa
digantikan oleh kakak tertua yang laki-laki, atau jika memang sudah tidak ada
sama sekali orang yang bisa dijadikan wali, maka diambilah wali hakim Wali
hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang
ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali
nikah dengan syarat sudah tidak ada lagi yang bisa mewakili atau menjadi wali bagi
calon mempelai wanita.
Saksi berfungsi sebagai alat bukti apabila ada pihak ketiga yang
meragukan perkawinan tersebut. Juga mencegah pengingkaran oleh salah satu
pihak. Syarat sebagai saksi nikah adalah laki-laki, muslim, adil, balig, tidak
terganggu ingatan dan tidak tuna rungu. Saksi nikah minimal harus dua dan hadir serta menyaksikan secara langsung
akad nikah, menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah
dilangsungkan.
Mahar merupakan pemberian
seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, yang selanjutnya akan
menjadi hak milik istri secara penuh.
Dalam
masalah mahar, wajib hukumnya seorang lelaki memuliakan wanita dan memberikan
sesuatu yang paling bagus menurut kemampuannya, dan bagi wanita boleh meminta
mahar kepada calon yang akan menikahinya, namun lebih baik kalau mahar yang
diminta itu yang mudah di dapat dan tidak memberatkan calon suaminya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Wanita yang
paling agung barakahnya, adalah yang paling ringan maharnya” (HR. Ahmad, Al
Hakim, Al Baihaqi dengan sanad yang shahih).
Namun jika calon suami ingin memberi lebih kepada calon
istrinya, itu tidak menjadi masalah, asal dia rela dan ikhlas dengan pemberian
tersebut, seperti yang tertulis dalam Al Qur’an.
“Berikanlah mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan …” (QS An-Nissaa :4).
Ijab adalah ungkapan pertama kali yang diucapkan wali
wanita dan Qobul adalah ungkapan penerimaan yang diucapkan oleh calon suami.
Ijab qobul boleh dilakukan dengan bahasa, ucapan dan ungkapan apa saja yang
tujuannya diketahui untuk menikah. Hasil dari akad nikah ini kemudian dicatat
oleh penghulu (KUA) untuk dicatatkan dalam berita acara pernikahan dan
masing-masing akan diberikan buku nikah suami dan istri.
2.2.
Dilema Pernikahan Pada Masa Perkembangan
Teknologi
Sebagaimana hasil ilmu pengetahuan
dan teknologi, muncul permasalahan baru dalam soal perkawinan yaitu tentang
sahnya akad nikah yang ijab qabulnya dilaksanakan melalui telepon. Ada contoh
kasus yaitu ada seorang ayah yang ingin menikahkan anaknya, tetapi perjalanan
seorang ayah tersebut masih tertunda di Jakarta sedangkan akad nikah yang
dilaksanakan di Yogyakarta akan segera dilaksanakan karena rukun nikah sudah
terpenuhi kecuali wali perempuan. Ayah dari mempelai perempuan tetap bersikeras
ingin menikahkan anaknya sendiri tanpa diwakilkan. Jalan keluar yang diambil
yaitu akad nikah dilaksanakan dengan menggunakan video call atau 3G. Dari kasus tersebut, timbul suatu keraguan
apakah pernikahan tersebut sah atau tidak sehingga perlu dilakukan akad nikah
ulang.
Menentukan sah atau tidaknya
suatu nikah, tergantung pada dipenuhi atau tidaknya rukun-rukun nikah dan
syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon dapat memenuhi
rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi, wali pengantin
putri, dan ijab qabul. Namun, jika dilihat dari segi syarat-syarat dari
tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada kelemahan atau kekurangan untuk dipenuhi. Misalnya,
identitas calon suami istri perlu dicek ada atau tidaknya hambatan untuk kawin
(baik karena adanya larangan agama atau peraturan perundang-undangan) atau ada
tidaknya persetujuan dari kedua belah pihak. Pengecekan masalah ini lewat
telepon sebelum akad nikah adalah cukup sukar. Demikian pula pengecekan tentang
identitas wali yang tidak bisa hadir tanpa taukil, kemudian ia melangsungkan
ijab qabul langsung dengan telepon. Juga para saksi yang sahnya mendengar
pernyataan ijab qabul dari wali dan pengantin putra lewat telepon dengan
bantuan mikropon, tetapi mereka tidak bisa melihat apa yang disaksikan juga
kurang meyakinkan. Demikian pula ijab qabul yang terjadi di tempat yang berbeda
lokasinya, apalagi yang sangat berjauhan seperti antara Jakarta dan Bloomington
Amerika Serikat yang berbeda waktunya sekitar 12 jam.
Oleh karena itu, nikah lewat
telepon itu tidak sah dan tidak dibolehkan menurut Hukum Islam, karena selain
terdapat kelemahan atau kekurangan dan keraguan dalam memenuhi rukun-rukun
nikah dan syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan diatas, juga berdasarkan
dalil-dalil syara’ sebagai berikut :
1. Nikah itu termasuk ibadah. Oleh karena itu,
pelaksanaan nikah harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang
shahih, berdasarkan kaidah hukum:
الاصل فى العبادة حرام
“Pada dasarnya, ibadah itu
haram”.
Artinya, dalam masalah ibadah, manusia tidak boleh
membuat-buat (merekayasa aturan sendiri).
2. Nikah
merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan itu
bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan akad yang mengandung sesuatu yang
sacral dan syiar islam serta tanggungjawab yang berat bagi suami istri,
sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat
nisa’ ayat : 21.
“Dan mereka (isteri-isterimu)
telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”
3. Nikah
lewat telepon mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan
atau penipuan (gharar atau khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan (confused atau syak), apakah telah
dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan
yang demikian itu tidak sesuai dengan hadist Nabi atau kaidah fiqih.
لا ضرر ولا ضرارا
“Tidak boleh membuat mudarat
kepada diri sendiridan kepada orang lain.”
Dan hadis Nabi
دعما يريبك الا مالا يريبك
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan
engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak meragukan engkau.”
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindari mafsadah (resiko)
harus didahulukan atas usaha menarik (mencari) maslahah”
Peristiwa akad nikah lewat
telepon mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat. Contoh lain yaitu
pada tanggal 13 Mei 1989 terjadi akad nikah jarak jauh Jakarta-Bloomington
Amerika Serikat lewat telepon, yang dilangsungkan di kediaman Prof. Dr.
Baharuddin Harahap di Kebayoran Baru Jakarta. Calon suami Drs. Ario sutarto
yang sedang bertugas belajar di program Pascasarjana Indiana University Amerika
Serikat, sedangkan calon istri adalah Dra. Nurdiani, putri guru besar IAIN
Jakarta itu. Kedua calon suami istri itu sudah lama berkenalan sejak sama-sama
belajar dari tingkat satu IKIP Jakarta, dan kehendak keduanya untuk nikah juga
sudah mendapat restu dari orang tua kedua belah pihak.
Sehubungan dengan tidak bisa
hadirnya calon mempelai laki-laki dengan alasan tiadanya biaya perjalanan
pulang pergi Amerika Serikat-Jakarta dan studinya agar tidak terganggu, maka
disarankan oleh pejabat pencatat nikah (KUA) agar diusahakan adanya surat
taukil (delegation of authority) dari
calon suami kepada seseorang yang bertindak mewakilinya dalam akad nikah (ijab
qobul) nantinya di Jakarta.
Setelah waktu pelaksanaan akad
nikah tinggal sehari belum juga datang surat taukil itu, padahal surat undangan
untuk walimatul urs sudah tersebar,
maka Baharuddin sebagai ayah dan wali pengantin putri mempersiapkan segala
sesuatu yang berkaitan dengan upacara akad nikah pada tanggal 13 Mei 1989,
antara lain dengan melengkapi pesawat telepon di rumahnya dengan alat pengeras
suara (mikrofon) dan dua alat perekam, ialah kaset, tape recorder dan video. Alat pengeras suara itu dimaksudkan agar
semua orang yang hadir di rumah Baharuddin dan juga di tempat kediaman calon
suami di Amerika Serikat itu bisa mengikuti upacara akad nikah dengan baik,
artinya semua orang yang hadir di dua tempat yang terpisah jauh itu dapat
mendengarkan dengan jelas pertanyaan dengan ijab dari pihak wali mempelai putri
dan pernyataan qobul dari pihak mempelai laki-laki, sedangkan alat perekam itu
dimaksudkan oleh Baharuddin sebagai alat bukti otentik atas berlangsungnya akad
nikah pada hari itu.
Setelah akad nikah dilangsungkan
lewat telepon, tetapi karena surat taukil dari calon suami belum juga datang
pada saat akad nikah dilangsungkan, maka kepala KUA Kebayoran Baru Jakarta
Selatan tidak bersedia mencatat nikahnya dan tidak mau memberikan surat nikah,
karena menganggap perkawinannya belum memenuhi syarat sahnya nikah, yakni
hadirnya mempelai laki-laki atau wakilnya.
Peristiwa nikah tersebut
mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat, terutama dari kalangan ulama
dan cendekiawan muslim. Kebanyakan mereka menganggap tidak sah nikah lewat
telepon itu, antara lain Munawir Syadzali, M.A Mentri Agama RI, K.H. Hasan
Basri, ketua umum MUI pusat, dan Prof. DR. Hasbullah Bakri, S.H. jadi, mereka
dapat membenarkan tindakan kepala KUA tersebut yang tidak mau mencatat nikahnya
dan tidak memberikan surat nikahnya. Dan inti alasan mereka ialah bahwa nikah
itu termasuk ibadah, mengandung nilai sacral, dan nikah lewat telepon itu bisa
menimbulkan confused (keraguan) dalam
hal ini terpenuhi tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syarat secara sempurna
menurut hukum Islam.
Ada ulama yang berpendapat bahwa status nikah lewat telepon itu syubhat, artinya belum safe, sehingga perlu tajdid nikah (nikah ulang) sebelum dua
manusia yang berlainan jenis kelaminnya itu melakukan hubungan seksual sebagai
suami istri yang sah. Adapula ulama yang berpendapat, bahwa nikah lewat telepon
tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi kebanyakan ulama dan
cendekiawan Muslim menganggap nikah lewat telepon itu tidak sah secara mutlak.
Proses pernikahan dalam Islam
mempunyai aturan-aturan yang ketat. Sebuah akad pernikahan yang sah harus
terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukunnya adalah
ijab dan qabul, sedang syaratnya adalah ijin dari wali perempuan dan
kehadiran dua orang saksi. Ini semuanya harus dilakukan dengan jelas dan
transparan, sehingga tidak ada unsur penipuan dan pengelabuhan. Oleh karena itu
calon suami atau wakilnya harus hadir di tempat, begitu juga wali perempuan
atau wakilnya harus hadir di tempat, dan kedua saksipun harus hadir di tempat
untuk menyaksikan akad pernikahan.
Ketika seseorang menikah lewat telpon, maka banyak hal
yang tidak bisa terpenuhi dalam akad nikah lewat telpon tadi, diantaranya :
tidak adanya dua saksi, tidak adanya wali perempuan, dan tidak ketemunya calon
pengantin ataupun wakilnya. Ini yang menyebabkan akad pernikahan tersebut
menjadi tidak sah.
Seandainya dia menghadirkan dua saksi dan wali perempuan
dalam akad ini, tetap saja akad pernikahan tidak sah karena kedua saksi
tersebut tidak menyaksikan apa-apa kecuali orang yang sedang menelpon, begitu
juga wali perempuan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Suara yang ada
ditelpon itu belum tentu suara calon suami atau istri. Ringkasnya bahwa akad pernikahan melalui telpon
berpotensi untuk salah, atau rentan terjadinya penipuan dan manipulasi.
Disarankan siapa saja yang ingin menikah jarak jauh,
untuk mewakilkan kepada orang yang dipercaya. Seandainya dia sebagai perempuan
yang bekerja di luar negri, maka cukup walinya sebagai wakil darinya untuk
menikahkan dengan lelaki yang diinginkannya, dan harus ada dua saksi yang
hadir. Bagi seorang laki-laki yang ingin menikah dengan perempuan jarak jauh,
maka hendaknya dia mewakilkan dirinya kepada orang yang dipercaya, seperti
adik, kakak, atau saudaranya dengan dihadiri wali perempuan dan kedua saksi.
Seandainya ada laki-laki dan perempuan yang ingin menikah di luar negeri dan
jauh dari wali perempuan, maka wali tersebut bisa mewakilkan kepada orang yang
dipercayai. Wakil dari wali tersebut beserta kedua saksi harus hadir di
dalam akad pernikahan. Semua proses pemberian kuasa untuk mewakili hendaknya
disertai dengan bukti-bukti dari instasi resmi terkait, supaya tidak disalahgunakan.
Masalah jarak yang memisahkan
antara para pelaksana akad nikah dalam pandangan syariah sangat mudah
solusinya. Baik yang terpisah adalah pasangannya atau pun walinya, atau bahkan
ketiga pihak yaitu calon suami, calon isteri dan wali semua terpisah jarak. Toh tetap masih dimungkinkan adanya akad nikah. Tetapi yang
solusinya bukan nikah jarak jauh, melainkan solusinya adalah taukil atau
perwakilan. Seorang ayah kandung dari anak gadis yang seharusnya menjadi wali
dalam akad nikah dan mengucapkan ijab, dibenarkan dan dibolehkan untuk menunjuk
seseorang yang secara syarat memenuhi syarat seorang wali. Dan penunjukannya
boleh dilakukan secara jarak jauh, baik lewat surat tertulis atau pembicaraan telepon SLI,
bahkan boleh lewat SMS, chatting, e-mail, atau Video Conference 3.5 G.
Cukup ditetapkan siapa yang akan menjadi wakil dari
wali, yang penting tinggalnya satu kota
dengan calon suami. Lalu dilakukanlah akad nikah secara langsung di satu
majelis yang dihadiri oleh minimal 2 orang saksi laki-laki. Si wakil wali mengucapkan
ijab yang bunyinya kira-kira: “Saya sebagai wakil dari fulan (nama ayah si gadis)
menikahkan kamu (nama calon suami) dengan fulanah binti fulan (nama gadis dan
nama ayahnya) dengan mahar sekian sekian.” Lalu calon suami menjawab (qabul),
kira-kira bunyinya: “Saya terima nikahnya fulanah binti fulanah dengan mahar
tersebut tunai.” Dan akad itu sudah sah.
Dan lebih menarik lagi, ternyata perwakilan itu bukan
saja boleh dilakukan oleh wali kepada wakilnya, tetapi calon suami pun boleh
pula mewakilkan dirinya kepada orang lain. Sehingga namanya menjadi wakil calon
suami yang akan melakukan proses qabul.
Misalnya seorang calon suami tidak mungkin bisa datang
ke negara di mana ayah si gadis tinggal, sementara ayah di gadis pun tidak mau
mewakilkan dirinya kepada orang lain. Berarti calon suami yang mengalah dan
mewakilkan dirinya kepada seseorang yang tinggal di satu kota dengan ayah di gadis. Proses pewakilannya sama saja, boleh jarak
jauh dan menggunakan berbagai teknologi informasi modern. Asalkan jangan pakai
telepati saja, tidak sah karena tidak ada bukti otentik. Lalu si wakil calon
suami melakukan akad nikah dengan ayah si gadis dan urusannya selesai.
Bahkan yang lebih fantastis lagi, ternyata kedua belah
pihak pun masih dibenarkan untuk mengajukan wakil masing-masing. Sehingga yang
melakukan akad nikah justru masing-masing wakilnya saja.
Maka pernikahan jarak jauh bukanlah akad nikah dilakukan
lewat telepon SLI atau yang lebih murah pakai VoIP, namun yang yang dilakukan
secara jarak jauh adalah proses mewakilkannya. Sedangkan akad nikahnya harus
dilakukan dalam satu majelis, face to
face, meski hanya oleh wakil dari masing-masing. Untuk itu, harus ada saksi
yang memenuhi syarat. Syaratnya mudah dan sederhana, tidak harus keluarga,
famili atau kerabat. Bahkan tidak kenal pun tidak apa-apa. Yang penting saksi
adalah dua orang yang beragama Islam, laki-laki, berakal, sudah baligh, adil
dan merdeka (bukan budak). Dan
syarat saksi ini kira-kira sama dengan syarat orang yang berhak untuk menjadi
wakil dari wali.
Dalam syariat Islam, akad
nikah tidak terjadi antara seorang calon suami dengan calon isteri. Melainkan antara ayah kandung seorang wanita dengan laki-laki yang akan menjadi suaminya. Maka tidak ada akad nikah kalau tidak
melibatkan keduanya bersama.
Sama dengan jual beli, kita
diharamkan membeli barang dari orang yang bukan pemilik sah suatu barang. Misalnya dari penadah atau dari pencuri. Kita hanya boleh membeli barang dari pemiliknya. Paling tidak, atas izin dari pemilik barang. Misalnya kita beli sebidang tanah, jangan mau kalau orang yang mengaku
sebagai pemilik tanah itu tidak bisa menujukkan bukti-bukti kepemilikannya, misalnya SHM atau paling tidak girik. Sebab kalau kita asal beli begitu saja, jangan-jangan tanah itu sudah ada yang punya. Kita akan terlibat sengketa tanah tak berkesudahan nantinya.
sebagai pemilik tanah itu tidak bisa menujukkan bukti-bukti kepemilikannya, misalnya SHM atau paling tidak girik. Sebab kalau kita asal beli begitu saja, jangan-jangan tanah itu sudah ada yang punya. Kita akan terlibat sengketa tanah tak berkesudahan nantinya.
Begitu juga ketika menikahkan
anak, kita harus 'membeli' langsung dari 'pemiliknya', yaitu ayah kandung. Bukan maksud kami menyamakan seorang wanita dengan barang, tetapi ini sekedar ilustrasi yang memudahkan. Kita ibaratkan seorang wanita adalah barang yang dimiliki oleh ayah kandungnya. Maka kalau
kita mau 'menikahinya', kita harus menyelesaikan akad dan transaksi dengan sang pemilik. Bukan dengan orang lain yang bukan pemilik.
Adapun orang lain yang bukan
ayahnya, lalu tiba-tiba mendadak mengangkat diri menjadi wali, maka dia telah bertindak sebagai 'wali gadungan'. Akad nikah yang dilakukannya 100% tidak sah. Karena pada hakikatnya dia bukan wali sedangkan
wanita itu masih punya wali yang sah.
'Wali gadungan'adalah pencuri
yang akan disiksa di neraka nanti, karean telah menyerobot hak milik orang lain. Bahkan bukan sekedar mencuri, dia akan disiksa pedih karena telah menghalalkan perzinaan. Dia telah menipu orang awam dengan fatwa sesatnya.
Syarat mutlak dari sebuah
pernikahan adalah akad antara ayah kandung pengantin wanita dengan seorang calon suami.Dalam implementasinya, seorang ayah kandung boleh saja meminta orang lain untuk bertindak mewakili dirinya, namun harus dengan penyerahan wewenang secara sah dan resmi. Tidak boleh dirampas begitu saja. Sehingga pernikahan jarak jauh tetap bisa dilakukan. Maksudnya, meski
ayah kandung tidak ikut dalam akad nikah, dia boleh mewakilkan otoritasnya kepada orang lain yang memenuhi syarat sebagai wali untuk bertindak atas nama dirinya menikahkan puterinya. Akan tetapi kalau yang dimaksud dengan nikah jarak jauh
adalah merampas hak seorang ayah kandung sebagai wali yang sah, maka hukumnya
haram.
Tidak ada masalah untuk melakukan nikah jarak jauh, di
mana pengantin laki-laki dan pengantin perempuan tidak saling bertemu. Sama
sekali tidak ada masalah karena akad nikah atau ijab kabul dalam syariah Islam memang tidak
terjadi antara pengantin laki dan pengantin perempuan. Ijab kabul terjadi antara pengantin laki-laki
dengan ayah kandung atau wali dari pengantin perempuan. Maka cukuplah si
pengantin laki-laki dan calon mertuanya itu saja yang mengucapkan ijab kabul. Asalkan ijab kabul itu disaksikan oleh
dua orang laki-laki muslim yang sudah aqil baligh, akad itu sudah sah.
Bagi seorang wanita, tidak ada nikah tanpa wali. Dan
wali adalah ayah kandungnya yang sah. Hanya di tangan ayah kandung sajalah
seorang wanita boleh dinikahkan. Seandainya si ayah kandung tidak mampu
menghadiri akad nikah anak gadisnya, maka dia boleh mewakilkan dirinya kepada
orang lain yang dipercayainya. Namun hak untuk menjadi wali tidak boleh
''dirampas'' begitu saja dari tangan ayah kandung. Bila sampai perampasan itu
terjadi, lalu wali gadungan itu menikahkan anak gadis itu, maka akad nikah itu
tidak sah. Kalau mereka melakukan hubungan suami isteri, hukumnya zina.
Yang lebih menarik, justru kehadiran petugas pencatat
nikah yang biasanya memimpin ijab qabul, sama sekali tidak masuk dalam urusan
sah atau tidaknya pernikahan. Meski tugas itu didapat dari pemerintah secara
resmi, namun tanpa kehadirannya akad nikah bisa tetap berlangsung. Sementara
anggapan sebagian masyarakat kita, petugas KUA ini seolah menjadi tokoh inti
dari sebuah ijab qabul. Padahal tugas hanya sekedar mencatat secara
administratif saja. Hadir atau tidak hadir, tidak ada urusan dengan sahnya
sebuah akad nikah. Namun demikian, demi tertibnya administrasi negara,
sebaiknya petugas ini dihadirkan juga, akan akad nikah itu secara resmi juga
tercatat dengan baik di pemerintahan.
Memang benar apa yang anda katakan, sebuah pernikahan
itu harus dilakukan oleh wali dari pihak perempuan dan pihak mempelai
laki-laki. Mereka berdua melafadzkan ijab dan qabul yang disaksikan oleh
minimal 2 orang laki-laki muslim. Tanpa adanya keempat orang itu, nikahnya
menjadi tidak sah. Karena tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan sebuah
pernikahan. Namun yang perlu diperjelas di sini, bahwa seorang wali
diperkenankan untuk meminta orang lain untuk mewakili tugas dan wewenang. Orang
lain yang ditunjuk ini, tentu saja harus benar-benar ditunjuk dalam arti kata
yang sesungguhnya.
Dalam masyarakat, seringkali kita lihat orang tua
mempelai wanita meski hadir dalam acara akad nikah itu, meminta kepada petugas
pencatat nikah (KUA) untuk menjadi wakilnya. Sehingga yang mengucapkan ijab
bukan orang tua mempelai wanita, melainkan petugas KUA. Petugas itu tidak boleh
mengambil alih wewenang sebagai wali mempelai wanita, kecuali berdasarkan
permintaan dari si wali tersebut. Demikian juga, mempelai laki-laki pun
diperkenankan untuk meminta orang lain menjadi wakil dirinya, dalam akad nikah.
Baik dirinya hadir dalam acara akad itu atau pun tidak. Namun yang kedua ini
memang kurang lazim terjadi. Tapi secara hukum, bila memang hal itu yang
diingininya, hukum tetap sah. Seluruh ulama salaf dan khalaf sepakat
membolehkan masalah mewakilkan wali nikah ini secara bulat. Baik Mazhab Abu
Hanifah, Malik, As-Syafi'i dan Ahmad bin Hambal. Bahkan mazhab Abu Hanifah
lebih jauh lagi dalam masalah ini, yaitu seorang wanita boleh menjadi wakil
dari ayah kandungnya dalam pernikahan dirinya.
Jumhur ulama mengatakan bahwa kebolehan mewakilkan
wewenang kepada orang lain (tawkil) dalam menikahkan pasangan pengantin ini
berlaku juga dalam hampir semua hal yang terkait dengan masalah muamalah.
Seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, salaf, istishna' dan lainnya.
Sedangkan yang terkait dengan ibadah mahdhah dan bersifat langsung kepada
Allah SWT, tidak berlaku kecuali bila ada dalil. Shalat dan puasa tidak boleh
diwakilkan kepada orang lain, namun ibadah haji termasuk rincian manasiknya
seperti melontar jamarat dan lainnya, dimungkinkan untuk diwakilkan. Lantaran
ada dalil yang tegas atas hal itu. Termasuk yang boleh diwakilkan adalah
menyembelih qurban yang dipersembahkan kepada Allah SWT di hari Raya Qurban.
Pada dasarnya menurut para ulama, tidak disyaratkan ada
persaksian dalam proses pemberian wewenang untuk menjadi wakil wali nikah.
Namun mereka menganjurkan untuk dihadirkan saksi-saksi, untuk berjaga-jaga agar
jangan sampai orang yang sudah menyerahkan wewenang kepada wakilnya, tiba-tiba
mengingkarinya.
Islam Memberi Kemudahan Namun Sesuai Prosedur. Kemungkinan menunjuk
wakil dalam akad nikah ini untuk menjawab masalah nikah jarak jauh, di mana
wali mempelai wanita dan mempelai laki-laki sulit untuk bisa duduk dalam satu
majelis.
Daripada mereka melakukan ijab kabul lewat telepon, akan lebih utama bila
secara sah mereka meminta orang lain mewakili mereka. Sebab ijab kabul jarak jauh ini masih
meninggalkan banyak perdebatan. Lantaran ada keharusan disaksikan oleh dua
orang saksi muslim, laki-laki, yang sudah aqil dan baligh. Sesuatu yang sulit
dikerjakan bila dilakukan dengan jarak jauh dan bukan dalam satu majelis.
Maka yang bisa kita simpulkan adalah bahwa setiap
personal yang terkait dalam sebuah akad nikah boleh mewakilkan wewenangnya
kepada orang lain. Dalam hal ini adalah calon suami dan mertuanya. Keduanya
berhak meminta orang lain untuk mewakili dirinya dalam sebuah akad.
Sedangkan saksi nikah yang dua orang itu, memang tidak
tergantikan, tetapi saksi boleh siapa saja, asalkan muslim, laki, aqil, baligh,
merdeka dan adil.
Nikah jarak jauh yang Anda impikan itu mungkin saja
terjadi, malahan sudah terjadi, bahkan seringkali terjadi. Di mana mempelai
laki-laki dan wali pihak perempuan dipisahkan jarak yang sangat jauh, sementara
akad nikah tetap bisa berlangsung dengan sah sesuai dengan syariat Islam dan
juga hukum positif negara.
Benarkah?
Ya, benar sekali. Bahkan tidak membutuhkan alat-alat komunukasi
canggih paling modern seperti yang kita kenal di masa sekarang ini. Semua tetap
bisa dilakukan di zaman yang belum ada listrik, telepon dan mesin kendaraan.
Syariat Islam telah memberi sebuah ruang yang memungkinkan semua itu terjadi,
bahkan di masa yang paling primitif sekalipun.
Bagaimana caranya?
Caranya dengan taukil…
Taukil adalah perwakilan wali. Di mana seorang ayah dari wanita
memberikan wewenang kepada seorang laki-laki lain, tidak harus familinya, yang
penting muslim dan dipercaya oleh si ayah, untuk melaksanakan akad nikah
puterinya dengan calon suaminya.
Yang penting, si wakil wali ini bisa menghadiri acara akad nikah,
karena ladafz ijab akan diucapkannya di depan calon mempelai laki-laki.
Yang lebih menarik lagi, ternyata yang boleh mewakilkan posisinya
kepada orang lain bukan hanya ayah kandung pihak wanita, tetapi mempelai
laki-laki pun masih dibenarkan untuk memberikan perwakilan dirinya kepada orang
lain lagi. Sehingga sebuah ijab qibul bisa tetap bisa dilakukan tanpa kehadiran
wali dan mempelai laki-laki. Cukup wakil sah dari masing-masing pihak saja yang
melakukan akad nikah. Bahkan pihak pengantin wanita pun juga tidak perlu wajib
hadir dalam akad itu.
Bukankah ini menarik? Dan sama sekali tidak butuh alat-alat canggih,
bukan?
Yang penting, proses pemberian wewenang sebagai pihak yang mewakili
ayah kandung sah dan dibenarkan secara yakin anpa diperlukan harus ada saksi.
Demikian juga dengan proses pemberian hak sebagai wakil pihak mempelai
laki-laki, juga harus benar dan sah, meski tanpa saksi. Dan pemberian wewenang
untuk mewakili ini pun tidak mengharuskan keduanya duduk dalam satu majelis.
Jadi bisa lewat telepon, email, faks, SMS bahkan chatting.
Akad nikah atau ijab qabul yang dilakukan oleh masing-masing wakil
dari kedua belah pihak adalah sebuah bentuk keluwesan sekaligus keluasan
syariah Islam. Namun kalau tiba-tiba ada orang mengangkat diri menjadi wakil
tanpa ada pemberian wewenang dari yang punya hak yaitu wali atau mempelai
laki-laki secara sah, maka orang ini sama sekali tidak berhak melakukan akad
nikah. Kalau pun nekat juga, maka nikah itu tidak sah di mata Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari uraian yang penulis
paparkan, dapat penulis simpulkan dan
sarankan sebagai berikut :
1. Nikah lewat telepon tidak boleh dan tidak
sah, karena bertentangan dengan ketentuan hukum syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
2. Penetapan/putusan pengadilan
agama Jakarta Selatan yang mengesahkan nikah lewat telepon No. 175/P/1989
tanggal 20 April 1990 merupakan preseden yang buruk bagi dunia Peradilan Agama
di Indonesia, karena melawan arus dan berlawanan dengan pendapat mayoritas dari
dunia Islam.
3. Penetapan peradilan agama
tersebut hendaknya tidak dijadikan oleh para hakim pengadilan agama seluruh
Indonesia sebagai yurisprudensi untuk membenarkan dan mengesahkan kasus yang
sama .
3.2. Saran
Untuk menyikapi dilema pernikahan
yang terjadi sebaiknya :
DAFTAR PUSTAKA
Afifi, Mustofa. 2005. Al-Muttaqien (LKS Pendidikan Agama Islam Untuk SMA). Purworejo :
UD. Daya Famili.
http://assunnah.or.id/
diakses di Dragonnet pada hari Sabtu, 24
Oktober 2009 pukul 10.31.
http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/09/akad-nikah-lewat-telepon.html
diakses di Dragonnet pada hari Sabtu, 24 Oktober 2009 pukul 10.25.
http://nikahituenak.wordpress.com/2007/07/21/hukum-nikah-jarak-jauh-2
diakses di Dragonnet pada hari Sabtu, 24 Oktober 2009 pukul 10.36.
http://walausetitik.blogspot.com/2006/07/belum-yakin-nikah-jarak-jauh-lewat.html
diakses di Dragonnet pada hari Sabtu, 24 Oktober 2009 pukul 10.45.
http://www.hidayatullah.com
diakses di Dragonnet pada hari Sabtu, 24 Oktober 2009 pukul 11.10.
http://www.lawskripsi.com
diakses di Dragonnet pada hari Sabtu, 24 Oktober 2009 pukul 10.56.
http://www.ustsarwat.com/cari.php?k=nkh
diakses di Dragonnet pada hari Sabtu, 24 Oktober 2009 pukul 11.25.
Tag :
Makalah Hukum
0 Komentar untuk "Studi Analisis Hukum Islam Terhadap Pernikahan Jarak Jauh"