Blog Dunia Pendidikan

CONTOH MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN PRAGMATISME



FILSAFAT PENDIDIKAN PRAGMATISME

Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpen­dapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Pendiri filsafat pragmatisme di Amerika adalah Charles Sandre Peirce (1839-1914), William James (1842-1910), dan John Dewey (1859­-1952). Ketiga filasof tersebut berbeda, baik dalam metodologi maupun dalam kesimpulannya. Pragmatisme Peirce dilandasi oleh fisika dan matemtika, filsafat Dewey dilandasi oleh sains-sains sosial dan biologi, sedangkan pragmatisme James adalah personal, psikilogis, dan bahkan mungkin religius.
Istilah pragmatisme berasal dari perkataan “pragma” artinya praktik atau aku berbuat. Maksudnya bahwa makna segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan.
Istilah lainnya yang dapat diberikan pada filsafat pragmatisme adalah intrumentalisme dan eksperimentalisme. Disebut instrumen­talisme, karena menganggap bahwa dalam hidup ini tidak dikenal tujuan akhir, melainkan hanya tujuan antara dan sementara yang meru­pakan alat untuk mencapai tujuan berikutnya, termasuk dalam pendidikan tidak mengenal tujuan akhir. Kalau suatu kegiatan telah mencapai tujuan, maka tujuan tersebut dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan berikutnya. Dikatakan eksperimentalisme, karena filsafat ini menggunakan metode eksperimen dan berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan kebenararnya.

1.       Realitas
Realitas dan dunia yang kita amati, tidak bebas dari ide manu­sia dan sekaligus juga tidak terikat kepadanya. Realitas merupakan interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Manusia dan lingkungannya berdampingan, dan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap realitas. Dunia akan bermakna sejauh manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya. Perubahan merupakan esensi realitas, dan manusia harus siap mengubah cara-cara yang akan dikerjakannya. Manusia pada hakikatnya plastis dan dapat berubah.
Teori pragmatisme tentang perubahan yang terus-menerus, didasari pandangan Heracleitos (540-480 SM), seorang filosof Yunani, dengan teori yang disebut “panta rei", artinya mengalir secara terus-menerus. Heracleitos berpendapat bahwa tidak ada sungai yang dialiri oleh air yang sama. Bagi pragmatisme tidak dikenal istilah metafisika, karena mereka tidak pernah memikirkan hakikat dibalik realitas yang dialami dan diamati oleh pancaindera manusia. Realitas adalah apa yang dapat dialami dan diamati secara inderawi.
Manusia dipandang sebagai makhluk fisik sebagai hasil evolusi biologis, sosial, dan psikologis, karena manusia dalam keadaan terus­ menerus berkembang. Manusia hidup dalam keadaan "menjadi" (becoming), secara terus-menerus "on goingness". Manusia secara mendasar adalah plastis dan dapat berubah. Anak merupakan organisme yang aktif, secara terus-menerus merekonstruksi dan menginterpetasi serta mereorganisasi kembali pengalaman­pengalamannya. Anak akan tumbuh apabila berhubungan dengan yang lainnya. Anak harus mempelajari hidup dalam komunitas individu­-individu, bekerja sama dengan mereka, dan menyesuaikan dirinya secara cerdas terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Tema pokok filsafat pragmatisme adalah :
a)               Esensi realitas adalah perubahan
b)              Hakikat sosial dan bilogis manusia yang esensial
c)               Relativitas nilai
d)              Penggunaan intelegensi secara kritis
Watak pragmatisme adalah humanistis dan menyetujui suatu dalil "manusia adalah ukuran segala-galanya " (man is the measure of all things). Tujuan dan alat pendidikan harus fleksibel dan terbuka untuk perbaikan secara terus-menerus. Tujuan dan cara untuk mencapai tujuan pendidikan harus rasional dan ilmiah.

2.               Pengetahuan
Pragmatisme yakin bahwa akal manusia akkif dan selalu ingin meneliti, tidak pasif dan tidak begitu saja menerirna pandangan tertentu sebelum dibuktikan kebenarannya secara empiris. Pikiran (rasio) tidak bertentangan dan tidak terpisah dari dunia, melainkan merupakan bagian dan dunia. Pengetahuan sebagai transaksi antara manusia dengan lingkungannya, dan kebenaran merupakan bagian dan pengetahuan. Pengalaman senantiasa berubah, maka akal tidak memerlukan pengetahuan yang tetap dan abadi. Apa yang dikatakan nyata adalah apa yang dapat dialami dalam pengalaman. Inti dari pengalaman adalah berupa masalah-masalah yang dihadapai oleh individu atau sekelompok individu. Manusia dalam kehidupannya, baik individual maupun sosial, memerlukan alat untuk memecahkan masalah-masalah tersebut yang selalu akan muncul, karena penga­laman pada dasarnya selalu berubah. Alat untuk memecahkan masalah tersebut adalah pengetahuan-pengetahuan tentatif atau hipotesis­-hipotesis. Karena itulah, pagmatisme Dewey disebut instrumentalisme.
Pragmatisme mengajarkan bahwa tujuan semua berpikir adalah kemajuan hidup. Di balik semua gambaran berpikir terdapat tujuan tertentu untuk memajukan dan memperkaya kehidupan, walaupun kita tidak menyadarinya. Semua kebenaran mengandung watak pagmatis. Dalam arti dapat mengabdi pada tujun-tujuan tertentu dan alam dan pengalaman manuisa, dan akan bernilai apabila dihubungkan dengan tujuan-tujuan tersebut. Jadi, nilai pengetahuan manusia harus dinilai dan diukur dengan kehidupan praktis. Menurut James, tidak ada ukuran untuk menilai kebenaran absolut. Benar atau palsunya pikiran akan terbukti di dalam penggunaannya dalam praktik, dan tergantung dari berhasil atau tidaknya tindakan tersebut.
Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna. Menurut James, suatu ide itu benar apabila memilik-i konsekuensi yang menyenangkan. Menurut Dewey dan Peirce, suatu ide itu benar apa bila berakibat memberi kepuasan jika diuji secara objektif dan ilmiah. Secara khusus pragmatisme mengemukakan bahwa ide yang benar tergantung kepada konsekuensi-konsekuensi yang diobservasi seca.ra objektif, dan ide tersebut operasional.
Teori kebenaran merupakan alat yang kita pergunakan untuk memecahkan masalah dalam pengalaman kita. Oleh karena itu, suatu teori harus dinilai dalam pengertian mengenai keberhasilannya menjalankan fungsinya. /Jadi, menurut pragmatisme, suatu teori itu benar apabila berfungsi. Kebenaran bukan sesuatu yang statis, melainkan tumbuh berkembang dari waktu ke waktu.
 Menurut James (Harun Hadiwijono, 1980), tidak ada kebe­naran mutlak, berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri, lepas dari akal pikiran yang mengetahui. Pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam pengalaman senantiasa berubah, karena dalam praktiknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi, oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran yang mutlak. Yang ada hanya kebenaran-kebenaran, yaitu kebenaran yang ada dalam pengalaman yang khusus, yang setiap saat dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Pragmatisme juga berpandangan bahwa metode intelegen merupakan cara ideal untuk memperoleh pengetahuan. Kita mengerti segala sesuatu dengan penempatan dan pemecahan masalah. Intelegensi mengajukan hipotesis untuk memecahkannya. Hipotesis yang mampu memecahkan masalah secara gemilang adalah hipotesis yang menjelaskan fakta-fakta dari masalah tersebut.
Untuk memecahkan masalah-masalah sosial dan perorangan yang paling penting, diharapkan menerapkan logika sains pada penga­laman yang problematis. Menurut John Dewey, yang dikemukakan oleh Wairu Rasyidin (1992 : 144), dalam menerapkan konsep pragmatisme secara eksperimental dalam memecahkan masalah hendaknya melalui lima tahapan yaitu :
Langkah ke-1    :   Indeterminate situation, timbulnya situasi ketegangan di dalam pengalaman yang perlu dijabarkan secara spesifik.
Langkah ke-2    : Diagnosis,       artinya  timbul upaya mempertajam masalah sampai pada menentukan faktor-faktor yang diduga menyebabkan timbulnya masalah.
Langkah ke-3 : Hypothesis, artinya ada upaya menemukan gagasan yang diperkirakan dapat mengatasi masalah, dengan jalan mengerahkan pengumpulan informasi yang penting-penting.
Langkah ke-4    :   Hypothesis     testing, yaitu       pelaksanaan berbagai hipotesis yang paling relevan secara teoritis untuk membandingkan implikasi masing-masing kalau dipraktikkan.
Langkah ke-5 :  Evaluation,       atinya mempertimbangkan hasilnya setelah hipotesis terbaik dilaksanakan, yaitu dalam kaitan dengan masalah yang dirumuskan pada langkah ke-2 dan ke-3.
Berdasarkan langkah-langkah di atas, Dewey berusaha menyusun suatu teori yang logis dan tepat berdasarkan konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang beraneka ragam, dalam arti alternatif-altematif. Menurut Dewey, yang benar adalah apa yang pada akhimya disetujui oleh semua orang yang menyelidikinya.
Selanjutnya pada bagian lain _Dewey mengatakan bahwa, pengalaman merupakan suatu interaksi antara lingkungan dengan organisme biologis. Pengalaman manusia membentuk aktifitas untuk memperoleh pengetahuan. Kegiatan berpikir timbul disebabkan karena adanya gangguan terhadap situasi (pengalaman) yang menimbulkan masalah bagi manusia (langkah ke-1 dan ke-2). Untuk memecahkan masalah tersebut disusun hipotesis sebagai bimbingan bagi tindakan berikutnya (langkah ke-3}. Dewey menegaskan, bahwa berpikir, khusunya berpikir ilmiah merupakan alat untuk memecahkan masalah. Itulah yang disebut metode intelegen atau metode ilmiah.
 John Dewey dengan pandangannya yang disebut instrurnen­talisme, barangkali merupakan pemikir yang sangat berpengaruh pada zamannya, sehingga la dapat memberikan corak kebudayaan Amerika sampai sekarang dengan pandangan hidup pragmatis dan sistem demokrasinya:"la mengembangkan sebuah teori pengetahuan dan sudut peranan biologis dan psikologis. Konsep-konsepnya merupakan bimbingan untuk mengarahkan kegiatan intelektual manusia ke arah masalah sosial yang timbul pada waktu itu. Menurut Dewey, tugas filsafat adalah membenkan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisik yang tidak ada faedahnya FiLsafat harus berpijak pada pengalaman, dan meneliti serta mengolah pengalaman tersebut secara kritikal. Penelitian berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang dilakukan dengan sengaja. Oleh karena itu, penelitian dengan penilaiannya merupakan alat untuk memperoleh pengetahuan empiris.
Implikasi teori epistemologi terhadap pendidikan, khususnya dalam proses belajar mengajar di sekolah, guru harus menyusun situasi belajar di sekitat masalah khusus, yang pemecahannya diserahkan kepada siswa. Pemuda merupakan pelajar alami, karena secara alamiah mereka ingin tahu, ingin mengadakan eksplorasi terhadap lingkungan di mana la tinggal. Anak akan lebih banyak belajar dari apa yang mendorong dia untuk meneliti dan menarik perhatiannya. Guru harus memelihara keinginan atau dorongan anak untuk meneliti. Guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk (1) belajar apa yang ia ingin mengetahuinya (2) selalu ingin mengetahui yang berkaitan dengan pelajaran, seperti sains, bahasa, sejarah dan lain­-lainnya.

3.       Nilai
Pragmatisme mengemukakan pandangannya tentang nilai, bahwa nilai itu relatif. Kaidah-kaidah moral dan etik tidak tetap, melainkan selalu berubah, seperti perubahan kebudayaan, masyarakat, dan lingkungannya. Pragmatisme menyarankan untuk menguji kuali­tas nilai dengan cara yang sama seperti kita menguji kebenaran penge­tahuan dengan metode empiris. Nilai moral maupun etis akan dilihat dari perbuatannya, bukan dari segi teorinya. Jadi, pendekatan terhadap nilai adalah cara empiris berdasarkan pengalaman-pengalaman manusia, khususnya kehidupan sehari-hari. Pragmatisme tidak mena­ruh perhatian terhadap nilai-nilai yang tidak empiris, seperti nilai supernatural, nilai universal, bahkan termasuk nilai-nilai agama.
Menurut pragmatisme, kita harus mempertimbangkan perbu­atan manusia dengan tidak memihak, dan secara ilmiah memiliki nilai-­nilai yang tampaknya memungkinkan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia. Nilai-nilai itu tidak akan dipaksakan dengan kekuatan apapun kepada kita untuk diterimanya. Nilai-nilai itu akan disetujui setelah diadakan diskusi secara terbuka yang dida­sarkan atas bukti-bukti empiris dan objektif.
Nilai lahir dari keinginan, dorongan, dan perasaan, serta kebiasaan manusia, sesuai dengan watak manusia sebagai kesatuan antara faktor-faktor biologis dan faktor sosial dalam diri dan kepribadiannya. Nilai merupakan suatu realitas dalam kehidupan, yang dapat dimengerti sebagai suatu wujud dalam perilak-u manusia, sebagai suatu pengetahuan, dan sebagai suatu ide. Suatu perilaku, pengetahuan, atau ide dikatakan benar apabila mengandung kebaikan, berguna, dan bermanfaat bagi manusia untuk penyesuaian diri dalam kehidupan pada suata lingkungan tertentu.
4.       Pendidikan
a.       Konsep pendidikan
Tidak bisa disangkal lagi bahwa pragmatisme telah membe­rikan suatu sumbangan yang sangat besar terhadap teori pendidikan. John Dewey merupakan tokoh pragmatisme yang secara eksplisit membahas pendidikan, dan secara sistematis menyusun teori pendi­dikan yang didasarkan atas filsafat pragmatisme.
Menurut Dewey, terdapat dua teori pendidikan yang saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Kedua teori pendidikan tersebut adalah paham konservatif dan "unfolding theory" (teori pemerkahan). Teori konservatif mengemukakan, bahwa pendidikan adalah sebagai suatu pembentukan terhadap pribadi anak tanpa memperhatikan kekuatan-kekuatan atau potensi-potensi yang ada dalam diri anak. Pendidikan akan menentukan segalanya. Dalam arti, pendidikan merupakan suatu proses pembentukan jiwa dari luar, di mana mata pelajaran telah ditentukan menurut kemauan pendidik, sehingga anak tinggal menerima saja. Pandangan tersebut dikemu­kakan oleh Dewey (1964: 69) sebagai berikut :
 It is rather formation of mind by setting up certain asso­ciations or connection of content by means of a subject matter presented from without. Education proceeds by instruction taken a strictly liberal sense, a building into the mind from without".
"Unfolding theory,"' berpandangan bahwa anak akan berkembang dengan sendirinya, karena la telah memiliki kekuatan­-kekuatan laten, di mana perkembangan si anak telah memiliki tujuan yang pasti. Tujuan yang dimaksud selalu digambarkan sebagai suatu yang lengkap dan pasti. Hal ini seperti yang pernah dikemukakan oleh Dewey {1964 : 56}, "Development is conceived not as continuous growing, but as unfolding oflatentpowers toward a definite gool. The gool is conceived of as completion, perfection ".
Menurut pragmatisme, pendidikan bukan merupakan suatu proses pembentukan dari luar, dan juga bukan merupakan suatu pemerkahan kekuatan-kekuatan laten dengan sendirinya (unfolding). Pendidikan menurut pragmatisme, merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstru.ksi dari pengalaman-pengalaman individu. Dalam hal ini dapat dikatakan, baik anak maupun orang dewasa selalu belajar dari pengalamannya. Dalam hal ini John Dewey (1964: 76) mengemukakan :
"The idea of growth result in conception that education is a constant reorganizing or reconstructing of experience. It has all the time an immediately end, the direct transformation of the quality of experience".
 Pengalaman-pengalaman tersebut bukan terdiri atas materi intern maupun materi yang diungkapkan, melainkan materi yang berasal dari aktivitas yang asli dari lingkungan.
Selanjutnya John Dewey mengemukakan perlunya atau pentingnya pendidikan, karena berdasarkan atas tiga pokok pemikiran, yaitu :
a)               Pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup
b)              Pendidikan sebagai pertumbuhan, dan
c)       Pendidikan sebagai fungsi sosial.
1.       Pendidikan sebagai kebutuhan untuk hidup
Pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup, karena adanya anggapan bahwa pendidikan selain sebagai alat, pendidikan juga berfungsi sebagai pembaharuan hidup, "a renewal of life". Hidup itu selalu berubah selalu menuju pada pembaharuan. Hidup, berjuang mempergunakan tenaga lingkungan untuk kebutuhan hidup. Menurut Dewey (1964) hidup itu adalah "a self renewing process throught action upon environment".
Dalam memenuhi kebutuhan hidup tersebut terjadi interaksi antara individu dengan lingikungannya. Setiap individu dalam masyarakat bisa hancur, namun proses hidup akan berlangsung terus karena adanya proses reproduksi atau kelahiran (ini sesuai dengan pandangan bahwa manusia sebagai hasil evolusi fisik, biologis, sosial, seperti telah diuraikan terdahulu). Adanya kelangsungan hidup tersebut karena adanya readaptasi. Apa yang dikatakan hidup, sebenarnya merupakan keseluruhan tingkatan pengalaman individu dengan kelompok.
Kehidupan masyarkat tumbuh melalui proses transmisi, seperti kehidupan biologis. Transmisi berlangsung melalui alat perantara atau alat komunikasi dalam kebiasaan bertindak, berpikir, dan merasakan, dari yang lebih tua pada yang lebih muda. Tanpa komunikasi antara yang tua dengan yang muda, kebudayaan tidak mungkin akan berlangsung terus. Maka, untuk kelangsungan hidup diperlukan suatu usaha untuk mendidik anggota masyarakat, yaitu mereka akan meneruskan usaha pemenuhan kebutuhan tersebut sebagai minat pribadi (personal interest). Perlu diketahui bahwa renewal of life (pembaharuan hidup) tersebut tidak berlangsung secara otomatis, melainkan banyak tergantung pada teknologi, sendiri, ilmu pengetahuan, dan perwujudan moral kemanuisaan. Untuk itulah semuanya membutuhkan pendidikan.
2.       Pendidikan sebagai kebuluhan tcntuk hidup
Menurut Dewey, pertumbuhan merupakan suatu perubahan tindakan yang berlangsung terus untuk mencapai suatu hasil selanjutnya. Pertumbuhan itu terjadi karena kebelummatangan. Di dalam kebelummatangan itu si anak memiliki kapasitas pertumbuhan potensi, yaitu kapasitas yang dapat tumbuh menjadi sesuatu yang berlainan, karena pengaruh yang datang dari luar. Ciri_dari kebelum­matangan adalah adanya ketergantungan dan plastisitas si anak. Ka1au diterapkan pada pendidikan, bahwa kekuatan untuk tumbuh tergan­tung pada kebutuhan atau ketergantungan terhadap orang lain dan plastisitas yang dimiliki si anak.
Ketergantungan tidak dimaksudkan sebagai suatu pribadi yang selalu harus mendapatkan pertolongan, melainkan harus dilihat sebagai pertumbuhan yang didorong oleh kemampuan yang tersembunyi, yang belum diolah. Pengertian fisik yang lemah harus diartikan sebagai suatu kebelummampuan dalam meniru lingkungan.
Yang dimaksud plastisitas adalah kemampuan belajar dari pengalaman, yang merupakan pembentukan kebiasaan. Kebiasaan yang mengambil "habituation ", yaitu keseimbangan dan kebutuhan yang ada pada aktivitas organisme dengan lingkungan dan kapasitas yang aktif untuk mengadakan penyesuaian kembali, agar dapat mencapai suatu kondisi baru. Habituation mencakup latar belakang pertumbuhan, di mana aktivitas aktif menentukan penumbuhannya. Kebiasaan aktif melibatkan pikiran, inisiatif; dan hasil untuk melaksanakan atau mencapai tujuan-tujuan baru. Pertumbuhan merupakan karakteristik dari hidup, sedangkan pendidikan adalah hidup itu sendiri, pertumbuhan itu sendiri.
3.       Pendidikan sebagai fungsi sosial
Menurut Dewey, kelangsungan hidup terjadi karena self renewal. Kelangsunag self renewal ini pun terjadi karena pertum­buhan, karena pendidikan yang diberikan kepada anak-anak dan para pemuda di masyarakat. Masyarakat meneruskan, menyelamatkan sumber dan cita-cita masyarakat. Dalam hal ini, lingkungan merupakan syarat bagi pertumbuhan, dan fungsi pendidikan merupakan "a process of leading and bringing up " (Dewey, 1964). Pendidikan merupakan suatu cara yang ditempuh masyarakat dalam membimbing anak yang masih belum matang menurut bentuk susunan sosial sendiri.
Kehidupan anak yang belum matang, selalu berinteraksi dengan lingkungan, tidak ada suatu tindakan yang tidak berhubungan dengan lingkungan, selalu berhubungan dengan yang lainnya. Dewey (1964) mengemukakan : "What he does and what he do depend upon the expectations, demands, approval, and condemnations of others". Orang yang berada dalam situasi tersebut, adalah orang yang berada dalam situasi dan lingkungan sosial.
Dalam hubungan sekolah sebagai fungsi sosial, Dewey (1964: 22) mengemukakan :
"three of the more important ,fungstions of this special environment are : simplifying and ordering the factors of the disposition ft is wished to develop; creating a wider and better balanced environment then that by which the young would be likely, if to themselves, to he influenced".
Sekolah sebagai alat tranmisi, merupakan suatu lingkungan khusus yang memiliki tiga fungsi, yaitu :
a)       Menyederhanakan dan menertibkan faktor-faktor bawaan yang dibutuhkan untuk berkembang.
b)      Memurnikan dan mengidealkan kebiasaan masyarakat yang ada.
c)       Menciptakan suatu lingkungan yang lebih luas, dan lebih baik daripada yang diciptakan anak tersebut dan menjadi milik mereka untuk dikembangkan.
b.      Tujuan pendidikan
Untuk mengetahui apa yang menjadi tujuan pendidikan pragmatisme, tidak terlepas dari pandangannya tentang realitas, teori pengetahuan dan kebenaran, serta teori nilai. Seperti telah dikemukakan, bahwa realitas merupakan interaksi manusia dengan lingkungannya. Dunia akan bermakna sejauh manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya. Perubahan merupakan esensi dari realitas, dan harus siap mengubah cara-cara yang akan kita kerjakan. Mengenai kebenaran, pada prinsipnya kebenaran itu tidak mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri sendiri, dan tidak terlepas dari akal yang mengenal. Yang ada hanya kebenaran khusus, yang setiap saat dapat diubah oleh pengalaman berikutnya. Sedangkan mengenai nilai, pragmatisme menganggap bahwa nilai itu relatif. Kaidah-kaidah moral dan etika tidak tetap, melainkan terus berubah seperti perubahan kebudayaan dan masyarakat.
Dari uraian di atas, dapat ditafsirkan apa dan bagaimana tujuan pendidikan serta bagaimana pelaksanaan pendidikan diorganisasikan. Objektivitas tujuan pendidikan harus diambil dari masyarakat di mana si anak hidup, di mana pendidikan berlangsung, karena pendidikan berlangsung dalam kehidupan. Tujuan pendidikan tidak berada di luar kehidupan, melainkan berada di dalam kehidupan sendiri. Seperti telah diuraikan, bahwa esensi realitas adalah perubahan, tidak ada kebenaran mutlak, serta nilai itu relatif, maka berkaitan dengan tujuan pendidikan, menurut pragmatisme tidak ada tujuan umum yang berlaku secara universal, tidak ada tujuan yang tetap dan pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus belaka, tidak ada tujuan yang berlaku umum yang universal. Jadi, tujuan pendidikan tidak dapat ditetapkan pada semua masyarakat, kecuali apabila terdapat hubungan timbal balik antara masing-masing individu dalam masyarakat tersebut
Walaupun pragmatisme tidak mengenal tujuan akhir pendi­dikan, namun Dewey (1964:94) mengemukakan beberapa kriteria dalam menentukan tujuan pendidikan, yaitu :
(1)    The aims set up must be out growth of existing conditions, It must based upon a consideration of what is already going on, upon the resources and difficulties of the situation.
(2)    We have spoken as if aims could be completely formed prior to the attempt to realize them.
(3)    The aims must always represent afreeing of activities.
Jadi, tujuan pendidikan harus dihasilkan dari situasi kehidupan di sekeliling anak dan pendidik, harus fleksibel, dan mencerminkan aktivitas bebas. Tujuan pendidikan, menurut pragmatisme, bersifat temporer, karena tujuan itu merupakan alat untuk bertindak. Apabila suatu tujuan telah tercapai, maka hasil tujuan tersebut menjadi alat untuk mencapai tujuan berikutnya. Dengan tujuan pendidikan, individu harus mampu rnelanjutkan pendidikannya. Hasil belajar harus dapat dijadikan alat untuk tumbuh. Sebagaimana dikemukakan oleh Dewey {1964 : 100): "For it assumed that the aim of education is to enable individuals to continue their education or the object and reward of learning is capacity for growing".



Beberapa karakteristik tujuan pendidikan yang har-us diperhatikan adalah :
1)      Tujuan pendidikan hendaknya ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan intrinsik anak didik.
2)      Tujuan pendidikan harus mampu memunculkan suatu metode yang dapat mempersatukan aktivitas pengajaran yang sedang berlangsung.
3)      Tujuan pendidikan adalah spesifik dan langsung. Pendidikan harus tetap menjaga untuk tidak mengatakan yang berkaitan dengan tujuan umum dan tujuan akhir.
Tujuan pendidikan adalah suatu kehidupan yang baik, yaitu kehidupan seperti digambarkan oleh Kingsley Price (1962 : 476) : "The best life of individuals is the life of intellegenee – of fi-eedom and control over one's own experience, and the best sosiety is the democratic - one in which there is no enduring class strati,fications" Kehidupan yang baik dapat dimiliki, baik oleh individu maupun oleh masyarakat. Kehidupan yang baik merupakan suatu pertumbuhan maksimum, dan hanya dapat diukur oleh mereka yang memiliki intelegensi (kecerdasan) yang baik. Perbuatan yang entelegen (cerdas) merupakan jaminan terbaik untuk melangsungkan pertumbuhan, merupakan jaminan terbaik untuk moral yang baik.
Pada hakikatnya masyarakat adalah terbaik, namun masyarakat yang demokratis merupakan masyarakat terbaik, di mana terdapat kesempatan untuk setiap pekerjaan, dan dalam demokrasi tidak mengenal adanya stratifikasi sosial. Kesamaan kesempatan merupakan jaminan bahwa setiap orang akan dapat mengambil bagian dalam melaksankan segala aktivitas lembaga yang la masuki. Penggunaan intelegensi secara maksimal, berarti memberi kesempatan suatu pertumbuhan kepada individu secara maksimal.

c.   Proses pendidikan
Menurut pragmatisme, pelajaran harus didasarkan atas fakta-­fakta yang sudah diobservasi, dipahami, serta dibicatakan sebe­lumnya. Bahan pelajaran harus mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untulc mencapai tujuan dan harus ada hubungannya dengan materi pelajaran. Pendidikan dalam setiap fase atau tingkatan harus memiliid kriteria untuk memanfaatkan kehidupan sosiai, yang sangat fundamental dalam kehidupan masyarakat.
Bahan pelajaran apabila dikaitkan derrgan demokrasi dalam pendidikan, adalah bahwa bah-nn pelajaran terdiri atas seperangkat tindakan untuk memberi isi kepada kehidupan sosial yang ada pada waktu itu. Dewey tidak menyetujui pada bahan pelajaran yang telah disampaikan terlebih dahuiu. Di sekolah lama terdapat tujuan pendi­dikan untuk kepentingan masyarakat, namuan bahan yang dibenkan guru terlalu tinggi, karena diambiikan dari masyarakat dewasa, yang berarti materi tersebut telah disampaikan dan dipaksakan kepada anak untuk diterima.
 Karena realitas dihasilkan dari interaksi manusia dengan lingkungannya, maka anak harus mempelajari dunia seperhi durua mempengaruhinya, di mana ia hidup. Sekolah tidak dipisahkan dari kehidupan, seperti dikemukakan oleh Bode (1940 : 24'7) : "Hence the schoool is designed as a special mode to order environment, so deviced or organizid what the activities which are carried on it will do what the life outside does not it ". Sekolah menzpakan cara khusus untuk mengatur hngkunagn, direncanakan, dan diorganisasi. Di sekolah, anak belajar apa yang ada dalam kehidupan. Sekolah harus merupakan tempat di mana kehidupan berlangsung. Dengan sekolah kita dapat menolong anak dalam menciptakan keltidupan yang baik, dan sekolah tidak dipisahkan dari kehidupan. Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri bukan persiapan untuk suatu kehidupan. Maten pela.jaran harus berhubungan langsung dengan masalah yang dihadapi anak, dan masyarakat diperhatikan untuk memecahkan masalah tersebut.
Tag : MAKALAH PAI
Iklan 655 x 60
0 Komentar untuk "CONTOH MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN PRAGMATISME"

Back To Top