BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Filsafat Esensialisme
Secara etimologi, esensialisme berasal dari bahasa
Inggris yakni “Essential” yang
berarti inti atau pokok dari sesuatu dan “Isme”
berarti aliran, mazhab atau paham.
Esensialisme
dikenal sebagai gerakan pendidikan dan juga sebagai aliran filsafat pendidikan.
Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan
yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada
zaman Renaissance (zaman kelahiran
kembali) dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan Progresivisme, perbedaannya
yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh
dengan fleksibilitas, dimana terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada
keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus
berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejeasan dan tahan lama yang memberikan
kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Menurut
esensialisme, yang esensial (sesuatu yang bersifat inti atau hakikat
fundamental, atau unsur mutlak yang menentukan keberadaan sesuatu) harus
diwariskan kepada generasi muda agar dapar bertahan dari waktu ke waktu, karena
itu esensialisme tergolong Tradisionalisme.
Sekitar tahun 1930
timbul organisasi yang bernama Essensialist
Committee for the Advancement of Education. Salah seorang tokohnya yang
terkenal adalah William C. Bagley (Imam Barnadib, 1984). Arthur K. Ellis, dkk.
dalam bukunya “Introduction to The
Foundation of Education” yang terbit pada tahun 1981 mengemukakan bahwa
Essensialisme berakar dari aliran filsafat Idealisme dan Realisme. William C.
Bagley (1876-1946) adalah pemimpin gerakan Essensialisme dalam melawan gerakan
Progresivisme dari John Dewey dan W. H. Kilpatrick (Madjid Noor, dkk, 1987).
Idealisme dan Realisme adalah
aliran-aliran filsafat yang membentuk
corak Esensialisme, sebagaimana yang
dipaparkan oleh Brameld “bahwa
esensialisme ialah aliran yang lahir dari perkawinan dua aliran dalam filsafat
yakni idealism dan realism”. Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing ini bersifat eklektik, artinya
dua aliran filsafat ini bertemu sebagai pendukung Esensialisme, tetapi tidak
lebur menjadi satu. Berarti, tidak melepaskan sifat-sifat utama masing-masing.
B. Prinsip-Prinsip Filosofis
1.
Hakikat Manusia
Pandangan
ontologis esensialme merupakan suatu konsepsi bahwa dunia atau realita ini
dikuasai oleh tata (order) tertentu yang mengatur dunia beserta isinya. Hal ini
berarti bahwa bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita, dan perbuatan
manusia harus disesuaikan dengan tata tersebut.
Idealisme modern mempunyai pandangan
bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan
(ide-ide). Di balik dunia fenomenal
ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya
kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan
Tuhan. Dengan menguji menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia
akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri.
Realisme modern yang menjadi salah satu
eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia
fisik, sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain,
pandangan-pandangannya bersifat spiritual.
Manusia memiliki intelegensi ia mampu berpikir, dan karenanya dapat
menyesuaikan diri terhadap dunia eksternalnya sehingga tetap bertahan diri
dalam perjuangannya menghadapi dunia eksternalnya.
2.
Hakikat Realitas
Sifat yang menonjol dari ontologi
esensialisme adalah suatu konsepsi bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang
tiada cela, yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula, ini
berarti bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah
disesuaikan dengan tata tersebut. Dibawah ini adalah uraian mengenai
penjabarannya menurut realisme dan idealisme.
a.
Realisme yang mendukung esensialisme disebut realisme objektif
karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam serta tempat manusia
didalamnya. Terutama sekali ada dua golongan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi
realisme ini. Dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap
aspek dari alam fisik ini dapat dipahami berdasarkan adanya tata yang jelas
khusus. Ini berarti bahwa suatu kejadian yang sederhanapun dapat ditafsirkan
menurut hukum alam, seperti misalnya daya tarik bumi.
b. Idealisme objektif mempunyai pandangan kosmos yang lebih optimis dibandingkan dengan realisme objektif.
Yang dimaksud dengan ini adalah bahwa pandangan-pandangannya bersifat
menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala sesuatu. Dengan landasan
pikiran bahwa totalitas dalam alam semesta ini pada hakikatnya adalah jiwa atau
spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa segala sesuatu yang ada ini
nyata. Ajaran-ajaran Hegel memperjelas pandangan tersebut diatas.
3.
Hakikat Pengetahuan
a. Epistemologi Idealisme
Pandangan
mengenai pengetahuan bersendikan pada pengertian bahwa manusia adalah makhluk
yang adanya merupakan refleksi dari Tuhan dan yang timbul dari hubungan antara
makrokosmos dan mikrokosmos. Karena itu,
dalam diri manusia tercermin suatu harmoni dari alam semesta, khususnya pikiran
manusia (human mind). Manusia
memperoleh pengetahuan melalui berpikir, intuisi, atau introspeksi.
Kriteria kebenaran idealism yaitu pikiran atau kesadaran
adalah primodial. Sejak kehidupan ada, sejak itu pula pikiran atau kesadaran
ada. Kesadaran atau pikiran manusia bertugas membangun suatu rancangan dunia
dalam yang dianggap paling mendekati realitas luar absolut. Untuk itu, maka
logika atau penalaran menjadi penting, sebab memang logika atau penalaran itu
merupakan bagian yang sangat esensial dari realitas. Karena itu, sesuatu
pengetahuan dikatakan benar bukan karena berguna untuk memecahkan masalah atau
untuk kehidupan praktis, sebagaimana dianut progresivist, tetapi suatu
pengetahuan dikatakan benar karena ia memang benar, jadi kebenaran bersifat
intrinsic, bukan instrumental. Jadi, kebenaran merupakan perwujudan dari
realitas tertinggi. Sebab itu, uji kebenaran pengetahuan dlakukan melalui uji
koherensi atau konsistensi logis ide-idenya (Madjid Noor,dkk, 1987).
b. Epistemologi Realisme
Sumber pengetahuan menurut Realisme adalah dunia luar subyek,
pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dria, atau pengamatan. Kita mengetahui
sesuatu jika kita mengamati atau mengalami sesuatu melalui kontak lamgsung
melalui pancaindera. Pengetahuan sudah ada di dalam realitas, manusia tinggal
menemukannya melalui pengamatan atau pengalaman.
Kriteria kebenaran menurut epistemologi realisme adalah suatu
pengetahuan diakui benar jika pengetahuan itu sesuai dengan realitas eksternal
(yang objektif) dan independen. Sebab itu, uji kebenaran pengetahuan dilakukan
melalui uji korespondensi pengetahuan dengan realitas.
4.
Hakikat Nilai (Aksiologi)
a.
Aksiologi Idealisme
Para filsuf Idealisme sepakat bahwa
nilai hakikatnya diturunkan dari realitan absolut. Realitan absolut merupakan
hal nyata yang benar-benar ada yang bersifat mutlak. Karena itu nilai-nilai
adalah abadi atau tidak berubah. Dalam kehidupan sosial, kualitas spiritual
seperti kesadaran cinta bangsa dan patriotism merupakan nilai-nilai sosial yang
perlu dijunjung tinggi, dan Hegel menyimpulkan bahwa karena Negara adalah
manifestasi Tuhan, maka wajib bagi warga negara untuk setia dan menjunjung
negara.
b.
Aksiologi Realisme
Para filsuf realisme percaya bahwa
standar nilai tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam, dan pada taraf yang
lebih rendah diatur melalui konvensi atau kebiasaan, adat istiadat di dalam
masyarakat ( Edward J. Power, 1982). Sejalan dengan konsep di atas, bahwa moral
berasal dari adat istiadat, kebiasaan, atau dari kebudayaan masyarakat.
C. Implikasi Pendidikan
1.
Definisi Pendidikan
Bagi penganut
Essensialisme pendidikan merupakan upaya untuk memelihara kebudayaan. Mereka
percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang
telah ada sejak awal peradaban umat manusia, sebab kebudayaan tersebut telah
teruji dalam segala zaman, kondisi dan sejarah.
Tugas pendidikan adalah mengijinkan terbukanya realita
berdasarkan susunan yang tidak terelakan (pasti) bersendikan kesatuan
spiritual. (William T. Harris, 1835-1909) maksudnya sekolah adalah lembaga
yang memelihara nilai-nilai yang telah turun-menurun, dan menjadi penuntun
penyesuaian orang kepada masyarakat.
2.
Tujuan Pendidikan
Pendidikan bertujuan
untuk mentransmisikan kebudayaan untuk menjamin solidaritas sosial dan
kesejahteraan umum (E.J. Power, 1982). Secara umum, essensialisme adalah model pendidikan
transmisi yang bertujuan untuk membiasakan siswa hidup dalam masyarakat masa
kini. Sekolah yang baik adalah sekolah yang berpusat
pada masyarakat, “society centered
school” , yaitu sekolah yang mengutamakan kebutuhan dan minat masyarakat
(Madjid Noor, dkk, 1987). Konsep dasar pendidikan
esensialisme adalah bagaimana menyusun dan menerapkan program-program
esensialis di sekolah-sekolah.
Tujuan utama dari program-program tersebut di
antaranya:
a.
Sekolah-sekolah esensialis melatih dan mendidik
subjek didik untuk berkomunikasi dengan logis.
b.
Sekolah-sekolah mengajarkan dan melatih anak-anak
secara aktif tentang nilai-nilai kedisiplinan, kerja keras dan rasa hormat
kepada pihak yang berwenang atau orang yang memiliki otoritas.
c.
Sekolah-sekolah memprogramkan pendidikan yang
bersifat praktis dan memberi anak-anak pengajaran yang mempersiapkannya untuk
hidup.
Contoh sekolah yang mengutamakan kebutuhan dan minat masyarakat adalah SMK
(Sekolah Menengah Kejuruan) karena di Sekolah Menengah Kejuruan ini lebih
mengutamakan minat dari individu.
3.
Peranan Guru
Bagi kaum Esensialis, guru seharusnya berperan aktif dalam
pembelajaran. Ia sebagai penanggung jawab, pengatur ruangan, penyalur
(transmiser) pengetahuan yang baik, penentu materi, metode, evaluasi dan
bertanggung jawab terhadap seluruh wilayah pembelajaran.
Guru juga berperan sebagai mediator atau “jembatan” antara dunia
masyarakat atau orang dewasa dengan dunia anak, dengan demikian inisiatif dalam
pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik (G. kneller, 1971).
Untuk menciptakan siswa yang mempunyai sikap dan perasaan solidaritas sosial
dan ikut berperan dalam mewujudkan kesejahteraan umum. Pewarisan nilai-nilai
luhur agama oleh sosok guru menjadi titik tekan tujuan pembelajaran esensialisme,
dan pembelajaran yang berisikan warisan budaya dan sejarah dan di ikuti oleh
keterampilan, sikap-sikap, dan nilai yang tepat merupakan unsusr-unsur esensial
dari sebuah kurikulum pendidikan esensialisme.
4.
Peranan Siswa
Peranan
peserta didik adalah belajar, bukan untuk mengatur pelajaran. Belajar berarti
menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh nilai-nilai sosial oleh angkatan
baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan kepada angkatan berikutnya
( Imam Barnadib, 1984). Esensialisme merupakan suatu filsafat yang
menghendaki pendidikan bersendikan nilai-nilai yang tinggi dan menduduki posisi
substansial dalam kebudayaan. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau
pembawa nilai yang ada di luar ke dalam jiwa peserta didik. Oleh karena itu,
peserta didik perlu di latih agar memiliki kemampuan observasi yang tinggi
untuk menyerap ide-ide atau nilai-nilai yang berasal dari luar dirinya
(muhaimin, 2004;40-42). Menurut esensialisme, pendidikan adalah aktivitas
pentransmisian atau pewarisan budaya dan sejarah sebagi inti pengetahuan yang
telah terkumpul dan bertahan sepanjang waktu. Warisan budaya demikian perlu di
ketahui pelestarian kebudayaan (Education
as a Cultural Convervation). Esensialisme memberikan penekanan upaya
kependidikan dalam hal pengujian ulang materi-materi kurikulum, memberikan
pembedaan-pembedaan esensial dan non esensial dalam berbagai program sekolah
dan memberikan kembali pengukuhan autoritas pendidik dalam suatu kelas di
sekolah.
5.
Kurikulum
Kurikulum (isi pendidikan) direncanakan dan diorganisasi oleh orang dewasa
atau guru sebagai wakil masyarakat, society
centered. Kurikulum society-centered menyatakan bahwa pesanan sosial
maupun interaksi sosial harus merupakan penentu utama dalam kurikulum. Hal
ini sesuai dengan dasar filsafat Idealisme dan
Realisme yang menyatakan bahwa masyarakat dan alam (Realisme) atau masyarakat
dan yang absolut (Idealisme) mempunyai peranan menentukan bagaimana seharusnya
individu (peserta didik) hidup. Kurikulum terdiri atas berbagai mata pelajaran
yang berisi ilmu pengetahuan, “agama”, dan seni, yang dipandang esensial.
Adapun sifat organisasi isi kurikulum adalah berpusat pada mata pelajaran
(subject matter centered).
6.
Metode
Dalam hal metode pendidikan, Esensialisme menyarankan agar sekolah-sekolah
mempertahankan metode-metode tradisional yang berhubungan dengan disiplin
mental, berupa metode ceramah yang memberikan perubahan perilaku kepada siswa
yang muncul dari pengalaman guru. Metode problem solving memang ada manfaatnya, tetapi bukan prosedur yang
dapat diterapkan dalam seluruh kegiatan belajar. Alasannya, bahwa kebanyakan pengetahuan
bersifat abstrak dan tidak dapat dipecahkan ke dalam masalah masalah diskrit
(yang berlainan). Selain itu, bahwa belajar pada dasarnya melibatkan kerja
keras, perlu menekankan disiplin (G. Kneller, 1971).
D. Tanggapan Kelompok
1.
Pendekatan Scientific dalam Implementasi Kependidikan pada Kurikulum
2013
Bagi aliran
filsafat esensialisme guru menjadi pusat (teacher
center) dari semua situasi pembelajaran yang berlangsung, baik dalam hal
pemberian pengalaman belajar maupun kegiatan belajar mengajar dalam kelas. Guru
adalah panutan satu-satunya yang dinilai dapat mengarahkan siswa ke arah yang
lebih baik. Nilai guru dimasa lalu yaitu guru memiliki suatu kedisiplinan yang
tinggi, religius (lengket dengan agama), memiliki wibawa, bersikap jujur dan
bertanggung jawab, beretika, berjiwa besar dan memiliki etos kerja tinggi serta
mengayomi masyarakat, kemudian pada sistem pendidikannya masih lengket dengan
sistem budaya lokal.
Pada kurikulum
2013 pengajaran yang ada telah diberi buku panduan oleh pemerintah, guru hanya
mengikuti apa yang telah tertera didalamnya, penyesuaian pengajaran juga
diterapkan kembali, karena dalam kurikulum di SD telah bersifat tematik
integrative. Siswa juga dituntut untuk lebih berperan aktif (student center) dalam pembelajaran
mengingat peran guru hanya sebagai fasilitator.
Berdasarkan hasil
penelitian, pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah mempunyai
hasil yang lebih efektif bila dibandingkan dengan penggunaan pembelajaran
dengan pendekatan tradisional. Penelitian tersebut menunjukkan
bahwa pada pembelajaran tradisional, retensi informasi
dari guru sebesar 10 persen setelah 15 menit
dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada
pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, retensi informasi dari
guru sebesar lebih dari 90 persen
setelah dua hari dan perolehan pemahaman
kontekstual sebesar 50-70 persen.
Proses
pembelajaran dengan berbasis pendekatan ilmiah harus
dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan ilmiah.
Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi
pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan
penjelasan tentang suatu kebenaran. Dengan
demikian, proses pembelajaran harus dilaksanakan
dengan dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau
kriteria ilmiah.
Berikut ini tujuh (7) kriteria
sebuah pendekatan pembelajaran dapat dikatakan sebagai pembelajaran scientific,
yaitu:
1.
Materi pembelajaran
berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau
penalaran tertentu, bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng
semata.
2.
Penjelasan guru,
respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang
serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur
berpikir logis.
3.
Mendorong dan
menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam
mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi
pembelajaran.
4.
Mendorong dan
menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan,
dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran.
5.
Mendorong dan
menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir
yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran.
6.
Berbasis pada
konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
7.
Tujuan pembelajaran
dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.
Tag :
MAKALAH PAI
0 Komentar untuk "CONTOH MAKALAH ALIRAN FILSAFAT ESENSIALISME BAB II PEMBAHASAN"