Militer Pada Masa Orde Baru
Agar
keberadaan militer di bidang sosial-politik diakui, maka pemerintah militer
Orde Baru melakukan langkah-langkah yuridis sebagai berikut:
- Memasukan dwi fungsi ABRI dalam GBHN, tentang ABRI sebagai modal dasar pembangunan.
- UU No. 20/1982, tentang pokok-pokok HanKam Negara.
- UU No. 2/1988.
- UU No. 1/1989.
Dua
produk Undang-undang yang terakhir merupakan penyempurnaan dari produk UU
sebelumnya. Setidak-tidaknya, terdapat tiga peran militer pada masa orde baru yang
berakibat buruk bagi kehidupan demokrasi.
Pertama adalah menempati jabatan-jabatan politis seperti menteri, gubenur,
bupati, anggota Golkar dan
duduk mewakilinya di DPR. Misalnya, pada tahun 1966, anggota militer yang
menjadi menteri sebanyak 12 orang dari 27 anggota kabinet dan 11 anggota
militer yang menempati jabatan strategis di departemen-departemen urusan sipil.
Di DPR, sebanyak 75 anggota militer duduk mewakili militer. Di tingkat daerah
pada tahun 1968, sebanyak 68 % gubenur dijabat oleh anggota militer, dan 92 %
pada tahun 1970. Sementara, pada tahun 1968, terdapat sebanyak 59 % bupati di
Indonesia berasal dari anggota militer. Kemudian pada tahun 1973, jumlah
militer yang menjadi menteri sebanyak 13 orang, sebanyak 400 anggota militer
dikaryakan di tingkat pusat, dan 22 dari 27 gubenur di Indonesia dijabat oleh
militer. Hingga tahun 1982, sebanyak 89 % jabatan-jabatan strategis di tingkat
pusat yang berkaitan dengan persoalan sipil dijabat oleh anggota militer.
Kemudian pasca pemilu 1987, sebanyak 80 % anggota DPR dari fraksi ABRI dan
sebanyak 34 perwira senior menjadi anggota DPR melalui fraksi Golkar.
Kemudian, 120 anggota militer terpilih
sebagai pimpinan Golkar daerah dan hampir 70 % wakil daerah dalam kongres
nasional Golkar berasal dari militer. Jumlah fraksi ABRI di DPR
juga meningkat dari 75 menjadi 100. Kenaikan ini dianggap tidak layak,
karena jumlah ABRI hanya 500.000 orang ( Cholisin, 2002 dan pakpahan, 1994).
Banyaknya anggota militer yang duduk di parlemen telah mempengaruhi
keputusan-keputusan yang di buat oleh DPR. Misalnya, pengalaman masa kerja DPR
dari 1971-1977, dan 1977-1982, fraksi ABRI terlihat paling keras menentang
penggunaan hak interpelasi dan angket pada kasus korupsi di Pertamina yang
diusulkan oleh F-PP dan F-DI (pakpahan, 1994:159). Sikap yang sama juga
ditunjukkan oleh F-ABRI dalam menolak usulan penggunaan hak angket pada kasus
pembunuhan massal di Tanjung Priok.
Kedua adalah menghegemoni kekuatan-kekuatan sipil. Contoh yang paling
mencolok pada kasus ini adalah pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI), yang dapat diartikan sebagai salah satu upaya “mengendalikan” kekuatan
intelektual (sipil) melalui sebuah lembaga. Hal ini bertentangan dengan hakikat
cendekiawan yang berpikiran
bebas dan kreatif, tetapi diikat dalam suatu wadah yang bersifat ideologis.
Sebelumnya, militer selalu menganggap bahwa intelektual Indonesia terlalu “bias
barat”. Dengan kelahiran ICMI, diharapkan intelektual tidak lagi “bias barat”,
tetapi lebih “bersahabat” dengan militer. Contoh lain terjadi pada Maret 1997,
di mana Kassospol ABRI, Letjen Syarwan Hamid mengumpulkan para guru besar dari
seluruh Indonesia di Bogor. Tujuan dari pengumpulan para profesor tersebut
adalah untuk “memberi informasi” mengenai bahaya Partai Rakyat Demokratik (PRD)
dan bangkitnya komunisme baru. Rejim militer orde baru menganggap bahwa PRD
dianggap berbahaya selain karena beraliran kiri dan diasosiasikan dengan
komunis dan PKI, PRD juga dituduh sebagai dalang kerusuhan peristiwa 27 Juli
1996. Militer mendikotomikan antara Barat dan Timur secara oposisional. Barat
adalah sesuatu yang berbau asing, sekular dan sangat bertentangan dengan Timur
yang relijius dan menjunjung tinggi kesantunan. Oleh karena itu, untuk melihat
Indonesia maka tidak dapat dipahami dengan kerangka struktural Barat yang
liberal. Hal tersebut juga berlaku untuk melihat kedudukan militer di
Indonesia. Dalam menghadapi berbagai persoalan, termasuk isu demokratisasi dan
hak asasi manusia, militer selalu mendefinisikan bahwa Indonesia memiliki
keunikan tersendiri sehingga memerlukan penanganan sendiri sesuai dengan
kepentingan militer.
Ketiga adalah melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat.
Beberapa kasus yang terjadi pada masa ini adalah orde baru melakukan pembunuhan
terhadap ratusan ribu anggota PKI dan pendukung Soekarno, serta memenjarakan
ribuan lainnya tanpa proses pengadilan (1966-1971), pembunuhan massal terhadap anggota kelompok Islam
di Tanjung Priok (1984), kasus tanah petani di Jenggawah (1989), pelaksanaan
operasi militer di Aceh ( 1989-1999), Timor Lorosae (1980-1999), dan Papua
(1960-1999), penggusuran dan intimidasi penduduk di Kedung Ombo, Jawa Tengah
(1989), Penembekan penduduk di sekitar waduk Nipah, Madura (1993), intidimidasi
terhadap pendukung non Golkar menjelang setiap pemilu (1971, 1977, 1982, 1987,
1992, 1997), penyerangan terhadap kantor PDI (1996), Penculikan aktivis pro
demokrasi (1997), penembekan empat mahasiswa Trisakti (1998), tregedi Semanggi
(1998) dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa lainnya, yang karena terjadi
di wilayah pedalaman dan jumlah korbannya sedikit sehingga tidak diberitakan
secara luas (Noorsalim, 2003).
Tag :
MAKALAH
0 Komentar untuk "CONTOH MAKALAHA PERAN MILITER PADA MASA ORDE BARU DAN MASA REFORMASI tentang Militer Pada Masa Orde Baru"