BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Salah satu tujuan kedatangan bangsa Eropa ke
Indonesia adalah untuk
mengambil
hasil bumi yang laku di pasaran internasional. Untuk menjamin kebutuhan ekonomi
itu, para penguasa kolonial di Indonesia membuat berbagai kebijakan ekonomi
yang menguntungkan. Pada bagian berikut ini akan diuraikan kebijakan ekonomi
kolonial 1830-1901 yang mencakup pokok-pokok bahasan Culturstelsel, Politik Kolonial Liberal, dan Imperialisme Modern.
Sejak
masa pemerintahan van der Capellen, pemerintah Belanda sudah
berusaha
untuk memperbaiki keuangan di Hindia Belanda. Usaha tersebut semakin mendapat
hambatan akibat persaingan perdagangan dengan Inggris. Dalam perdagangan
samudra, Inggris telah mengungguli perdagangan Belanda. Di kawasan Selat
Malaka, pedagang-pedagang Inggris sudah menggantikan pedagang-pedagang Belanda.
Berdirinya Singapura pada tahun
1819, menyebabkan peranan Batavia semakin merosot sebagai pusat perdagangan di
Asia Tenggara Kepulauan. Perjanjian
Inggris-Belanda tahun 1824 (Konvensi London) memyebabkan Inggris masuk ke
kawasan itu untuk seterusnya. Barang-barang buatan Inggris menyaingi
barang-barang Belanda, termasuk yang dikonsumsi di Jawa.
Di kepulauan Nusantara sendiri,
Belanda juga sudah kehilangan banyak
perdagangan
pulau karena diambil pedagang-pedagang
Bugis dan Cina. Kekuasaan Belanda terhadap perdagangan di luar Pulau
Jawa telah diungguli oleh kekuatan ekonomi Cina. Kegiatan-kegiatan perkapalan
dan perdagangan Belanda di Asia Tenggara dan di tempat-tempat lain juga sudah
merosot sekali. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan jatuhnya harga kopi
yang hebat dalam tahun-tahuan 1820-an
disebabkan oleh masa meleset di Eropa. Karena kopi merupakan andalan pendapatan
utama bagi Belanda, maka jatuhnya harga kopi tersebut memberi pukulan bagi
pemerintah Hindia Belanda.
Program-program yang dipraktekkan
antara tahun 1819 hingga tahun 1824 guna meningkatkan pendapatan dari Jawa,
semuanya mengalami kegagalan. Setelah beberapa lama sistem liberal dari Raffles
diterapkan oleh Belanda, juga tidak memperbaiki kondisi Indonesia.
Petani-petani Indonesia tidak mampu menggunakan kebebasan bertanam itu untuk
menyelesaikan krisis keuangan di Indonesia.
Di Eropa keadaan Negeri Belanda
tidak jauh berbeda dengan keadaan Negara-negara yang dikuasai Perancis. Belanda
sudah kehilangan peranannya sebagai distributor hasil-hasil Eropa dan Asia
Tenggara. Setelah era Napoleon, Perancis mampu mengembangkan perusahaannya
sendiri sehingga tidak mengalami
ketergantungan lagi. Di negeri itu semakin ada kecenderungan tidak mau
menggunakan Belanda sebagai pedagang perantara.
Pada tahun 1830 negeri Belanda pecah
karena perlawanan orang-orang Belgia. Perang saudara yang meletus itu
berlangsung beberapa tahun lamanya dan
menyebabkan
keruntuhan keuangan Belanda dan berakhir dengan kemerdekaan Belgia. Dengan
adanya peristiwa-peristiwa ini, maka Culturstelsel
(Sistem Tanam Paksa) sebagaimana direncanakan oleh van den Bosch itu dianggap
sebagai satu-satunya jalan untuk mengatasi keuangan Belanda itu.
1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini memiliki rumusan
masalah sebagai berikut.
1.
Bagaimana Tujuan,
Pokok-pokok, dan Pencegahan Penyalahgunaan Culturstelsel
kolonial pada tahun 1830-1901 di
Indonesia?
2.
Bagaimana Politik
Kolonial Liberal (1850-1870) yang diterapkan di Indonesia?
3.
Bagaimana Imperialisme
Modern pada tahun 1830-1901 yang diterapkan di Indonesia?
1.3 Tujuan
Makalah ini memiliki tujuan sebagai
berikut.
1.
Untuk mengetahui Tujuan,
Pokok-pokok, dan Pencegahan Penyalahgunaan Culturstelsel kolonial pada tahun 1830-1901 di Indonesia.
2.
Untuk mengetahui Politik
Kolonial Liberal (1850-1870) yang diterapkan di Indonesia.
3.
Untuk mengetahui
Imperialisme Modern pada tahun 1830-1901 yang diterapkan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tujuan, Pokok-pokok, dan Pencegahan Penyalahgunaan Culturstelsel
kolonial pada tahun 1830-1901
di Indonesia
1)
Tujuan
Culturstelsel
Culturstelsel
mempunyai dua tujuan yaitu:
(1) Culturstelsel
untuk memperoleh uang yang sebanyak-banyaknya dari penjualan hasil bumi
yang laku di Eropa. Tanaman-tanaman yang akan ditanam itu akan ditentukan oleh
pemerintah Hindia Belanda. Kemudian sebagian dari hasil tanaman itu akan
diserahkan kepada Belanda. Penyerahan itu sebagai pengganti pajak tanah. Jika
ada kelebihan, maka kelebihan itu akan dijual kepada Belanda dengan harga yang
murah. Hasil-hasil tersebut akan dibawa
ke Amsterdam oleh pedagang-pedagang
dan kapal-kapal Belanda. Dengan cara itu Amsterdam akan menjadi bandar
distribusi hasil-hasil dari Indonesia. Keuntungan yang diperoleh akan digunakan untuk
memperbaiki keuangan Belanda.
(2) Culturstelsel
akan mendorong orang pribumi untuk memperoleh lebih banyak uang dengan menanam
lebih banyak tanaman ekspor. Orang Belanda percaya bahwa jika dipaksa, maka
orang-orang pribumi itu bisa mencari jalan keluar dari kemiskinannya.
Unsur-unsur liberal dimasukkan
dalam rencana tersebut supaya orang-orang liberal
di Negeri Belanda tidak menentangnya. Menurut sistem ini, orang-orang Indonesia
itu lebih bebas menggunakan waktunya serta uangnya asal saja mereka memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan itu. Pada awalnya rakyat diatur oleh pemerintah tradisional
yang menentukan tanaman dan yang akan
diserahkan kepada Belanda.Bertolak dari kebijakan tersebut, maka sekiranya
terdapat kerjasama antara pemerintah Hindia Belanda dengan rakyat Indonesia,
kedua-duanya akan diuntungkan.
Namun demikian, akhirnya pihak
Belandalah yang jauh lebih diuntungkan. Rakyat Indonesia yang terlibat
dalam Sistem Tanam Paksa, mempunyai kesempatan
untuk membeli barang-barang impor buatan Belanda. Dengan demikian Belanda memperoleh
pasar tertutup yang lebih menguntungkan. Karena itu pemerintah Negeri Belanda semakin
menggalakkan pengiriman barang-barangnya ke Indonesia.
2) Pokok-pokok Culturstelsel
(1)
Orang-orang Indonesia akan menyediakan
sebagian dari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa
seperti kopi, teh, gula, nila. Tanah yang diserahkan itu tidak lebih dari seperlima
dari seluruh sawah desa.
(2)
Bagian tanah yang disediakan sebanyak
seperlima luas sawah itu bebas dari
pajak.
(3)
Pekerjaan untuk memelihara tanaman
tersebut tidak boleh melebihi lamanya
pekerjaan yang diperlukan untuk
memelihara sawahnya sendiri.
(4)
Hasil tanaman yang dipungut itu dikirim
ke pusat-pusat daerah untuk
ditimbang. Sebagian dari hasil tanaman
itu, yaitu kira-kira sebanding dengan nilai sewa tanah itu, akan diserahkan
kepada Belanda. Yang selebihnya akan dibayar oleh Belanda. Hal ini bertujuan
untuk memacu para penanam itu supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor itu.
(5)
Jika tanaman itu rusak akibat bencana
alam seperti kemarau panjang, banjir,
serangan serangga dan bukan disebabkan
oleh kelalaian penanam, maka
penanam-penanam itu tidak diwajibkan
mengirimkan hasil pungutannya
kepada Belanda.
(6)
Para penanam itu akan bekerja di bawah
pimpinan para pamong praja dan
diawasi oleh pegawai-pegawai Belanda.
Pegawai-pegawai Belanda itu bertugas untuk memastikan kerja-kerja di ladang,
pemungutan hasil dan pengangkutan
hasil
tananam itu.
(7)
Penduduk yang tidak menyediakan
tanahnya untuk Culturstelsel, wajib
kerja di perkebunan atau pabrik-pabrik selama seperlima tahun atau 66 hari
dalam setahun dengan percuma.
(8) Ada pembagian tugas yang jelas yaitu ada yang
bertugas menanam saja, ada
yang memungut hasil, ada yang bertugas
mengirim hasil ke pusat-pusat
pengumpulan, dan ada yang bekerja di
pabrik. Pembagian tugas ini bertujuan untuk menghindarkan agar tidak ada tenaga
yang harus bekerja sepanjang tahun terus-menerus.
3)
Aturan Pencegahan Penyalahgunaan Culturstelsel
Orang percaya bahwa program yang dibuat oleh
van den Bosch memperhitungkan
kepentingan rakyat banyak. Hal ini
tercermin dengan
dikeluarkannya
aturan-aturan yang digunakan untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan Culturstelsel. Adapun aturan-aturan
yang menjaga agar Culturstelsel tidak disalahgunakan
antara lain:
(1) Sistem Tanam Paksa itu menegaskan bahwa
persetujuan hendaklah dibuat
dengan rakyat.
(2)
Sistem itu mengakui pemaksaan tetapi digabungkan dengan perusahaan bebas
(pemaksaan yang baik).
(3)
Besarnya pajak tidak terlalu tinggi yaitu kira-kira hanya 20% saja.
(4)
Jika nilai/hasilnya melebihi nilai sewaan tanah, maka yang lebihnya akan
diberikan kepada penanamnya.
(5)
Adat-istiadat atau kebiasaan yang sudah turun-temurun dijamin oleh para
pamong praja.
4)
Pelaksanaan
Culturstelsel
Dalam
sepuluh tahun pertama, Culturstelsel
ternyata berhasil baik. Dalam tahun 1831 saja, van den Bosch sudah dapat
menyehatkan anggaran belanja. Kondisi tersebut menyebabkan kekurangan
dana dapat diatasi, bahkan setelah itu mulai terjadi kelebihan anggaran. Keadaan itu
mungkin berjalan terus dan taraf hidup rakyat Indonesia tentu akan bertambah baik
jika sekiranya tidak terjadi pemberontakan Belgia. Pemberontakan tersebut
sekali lagi menyebabkan terjadinya krisis keuangan lagi. Hal ini
menyebabkan penghasilan Culturstelsel harus
bertambah besar guna mengatasi
krisis tersebut. Andaikata tidak terjadi
pemberontakan Belgia, pemerintah Belanda tentu sudah mendapatkan
keuntungan besar.
Rencana untuk memeras ekonomi Indonesia
dilakukan dengan kedok agama dan adat-istiadat
rakyat, dan hubungannya dengan pejabat-pejabat tradisional seperti raja, bupati, wedana
maupun lurah. Kedudukan para pejabat tradisional itu digunakan oleh Belanda untuk
memaksa rakyatnya bekerja sesuai dengan kehendak Belanda.Sebagai imbalannya,
para pejabat tradisional itu diberi sebagian dari hasil yang diserahkan, makin
besar yang diserahkan makin besar pula preminya.
Untuk mengatur hubungan kerja tersebut, maka
dibuat perjanjian tentang
pengaturan
tenaga dan tanaman yang dikehendaki oleh Belanda. Setiap pejabat
tradisional
akan mendapat persen dari perjanjian tersebut. Rakyat patuh pada mereka, sebab
mereka punya kharisma karena agama dan adat-istiadat. Jika diperintah oleh para pejabat tradisional
maka tidak mungkin memberontak kepada Belanda.
Mula-mula pelaksanaan sistem tersebut dimulai dari penanaman tebu, nila
, dan kopi.
Karena hasil tanaman tersebut sangat memuaskan, maka macam tanamannya diperluas dengan lada
hitam, tembakau, teh, kina, kayu manis, murbai, kapas dan kemudian padi juga.
Tanaman di Jawa diawasi sendiri oleh tenaga-tenaga Belanda
Sedang
tanaman di luar Pulau Jawa dipercayakan kepada pejabat-pejabat setempat.
Mengenai Culturstelsel ini, Hall
menyatakan bahwa dalam beberapa hal, sistem itu merupakan sistem lama
tentang penyerahan paksa dan
pengangkutan dalam bentuk yang baru (Hall, 1964: 516). Day (1966: 257) tidak
hanya menyamakan dengan sistem lama, tetapi justru mengecam keras. Ia
menyatakan bahwa Culturstelsel
merupakan suatu sistem pemerasan yang sangat besar dan yang menimbulkan
beberapa banyak kesengsaraan bagi para penananmnya. Ia bahkan menuduh van den
Bosch mengkhianati kebaikan
rakyat
Indonesia.
Pendapat-pendapat yang lebih liberal
mengatakan bahwa sistem itu pada
awalnya
sangat menjanjikan. Namun setelah Culturstelsel
dijalankan tidak sesuai
dengan
pokok-pokok sistem Tanam Paksa itu, sehingga sangat merugikan bangsa
Indonesia.
Sebaliknya Belanda mendapat keuntungan yang sangat besar.
Jika diamati lebih lanjut, ternyata pada
pelaksanannya semua unsur yang ada
dalam
rencana Culturstelsel, terutama yang
dianggap menghambat pengasilan Belanda, sejak awal sudah disingkirkan. Yang
penting, Indonesia harus bisa menyelamatkan dengan praktek pelaksanaan seperti
itu, maka uang dari Indonesia mengalir ke Negeri Belanda untuk menolong negeri itu
dari kehancuran ekonomi. Di samping itu, uang tersebut juga digunakan untuk
membina sarana dan prasarana di Negeri Belanda, seperti perbaikan jalan kereta
api. Walaupun uang berlimpah-limpah namun Indonesia tetap miskin dan
rakyatnya sengsara.
Culturstelsel itu semakin ditingkatkan
untuk membangun negeri Belanda.
Paksaan
semakin ditingkatkan pula sehingga rakyat Indonesia semakin tertekan.
Hampir
semua kelebihan dari keuntungan para penanamnya (batig saldo) dikirim ke Negeri
Belanda, sehingga Culturstelsel juga
disebut politik batig saldo. Dalam tahun 1832 peraturan ekspor diperketat,
penjualan hasil kepada Belanda ditekan serendah mungkin atau harus ditentukan
oleh Belanda. Sebaliknya, rakyat tidak boleh menjual hasil buminya kepada
pedagang lain. Pada
tahun 1834 van den Bosch pulang ke Negeri Belanda, namun penggantinya yang konon berpaham
liberal, ternyata tetap melanjutkan
pemerasan di Indonesia.
Meskipun
banyak kecaman, namun van den Bosch melaporkan bahwa Culturstelsel
berhasil
baik sebab:
1. Untuk mendapatkan perubahan yang lebih baik,
perlu dilakukan paksaan kerja.
2. Krisis keuangan yang hebat telah berhasil
diatasi.
3. Tanah-tanah yang bisa ditanami bertambah
luas.
4. Keamanan dan ketertiban terpelihara.
Sementara
itu Negeri Belanda menilai Culturstelsel
sebagai berikut:
1. Pelaksanaan Tanam Paksa mampu menghasilkan
uang sehingga orang-orang
Belanda ikut mendapatkan keuntungan pula.
2. Akibat Culturstelsel
pelabuhan Amsterdam kembali muncul sebagai pasar utama bagi hasil bumi
Indonesia.
3. Perkapalan Negeri Belanda menempati urutan
ketiga setelah Inggris dan Perancis.
4. Persekutuan Dagang Belanda menjadi kaya raya
karena persekutuan tersebut
mendapat hak mengangkut hasil bumi
tersebut.
5. Rakyat Belanda merasa bahwa Indonesia
(terutama Jawa) merupakan pelampung penyelamat yang mengapungkan Nederland dari kemerosotan ekonomi.
5) Penyalahgunaan Culturstelsel
Secara teori, Culturstelsel memang bersifat liberal, namun parkteknya
disalah
gunakan. Hal ini disebabkan karena kepentingan negeri Belanda atau pelaksana di
lapangan didahulukan ketimbang kepentingan rakyat Indonesia. Akibatnya rencana yang diharapkan dapat
mengentaskan rakyat tersebut justru menjadi beban yang maha berat dan perlakuan
yang tidak adil. Adapun praktek penyalahgunaan Sistem Tanam Paksa tersebut
adalah sebagai berikut:
(1) Menurut pokok pertama, penanaman tanaman
ekspor itu hendaklah disetujui oleh orang-orang Indonesia.
Prakteknya, perjanjian itu hanya dibuat dengan para pembesar saja. Para pejabat
tradisional itu dibujuk supaya menyetujui perjanjian tersebut dengan janji
bahwa mereka akan memperoleh sebagian
dari keuntungannya.
(2)
Walaupun dalam perjanjian disebutkan
bahwa tanah yang digunakan untuk Culturstelsel
adalah 1/5 sawah, tetapi prakteknya
adalah 1/3 atau bahkan ½ dari tanah desa, bahkan dipilih tanah yang subur.
(3)
Waktu untuk bekerja buat tanaman yang
dikehendaki pemerintah Belanda, jauh lebih lama (lebih dari 66 hari, yaitu
antara 200 sampai 225 hari dalam setahun) dari pada waktu yang digunakan untuk
mengerjakan tanahnya sendiri.
(4) Kerapkali orang yang dipekerjakan berasal
dari tempat-tempat yang jauh dari kampungnya, padahal makanan harus disediakan
sendiri, sedang waktu untuk mengerjakan sawahnya habis, sehingga persediaan
makanan kurang sekali.
(5) Tanah yang diserahkan untuk Culturstelsel ternyata masih tetap dipungut pajak sehingga tidak
sesuai dengan perjanjian.
(6)
Kelebihan hasil tidak dikembalikan
kepada pemilik tanah, tetapi harus dijual kepada
Belanda dengan harga yang murah, karena harga tersebut ditentukan
oleh pemerintah Belanda.
(7)
Pengangkutan hasil-hasil tanaman ekspor
itu dilakukan sendiri oleh para penanam ke tempat-tempat pengumpulan yang pada
umumnya jaraknya sangat jauh
sehingga
banyak menghabiskan waktu.
(8)
Pembagian tugas yang telah direncanakan
tidak dipraktekkan. Ada yang bekerja terus sepanjang tahun, ada yang kerjanya
sedikit bahkan ada pula yang tidak bekerja secara langsung. Orang-orang yang
paling banyak menderita adalah rakyat yang kerjanya banyak tetapi hasilnya
sedikit, terutama bagi mereka yang bertanam nila.
(9)
Dalam pelaksanaannya, tanaman pemerintah
harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang
waktu untuk menanam tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya
menjadi kurang.
(10)
Dengan adanya sistem persen (kultur persen) yang diberikan kepada para pejabat,
maka para pejabat itu memaksa
orang-orangnya supaya tanamannya bisa menghasilkan lebih banyak.
Dengan adanya praktek-praktek yang menyimpang
tersebut, maka penderitaan rakyat terus bertambah. Hal ini disebabkan di
samping beban tanam paksa, rakyat
masih
mempunyai beban yang lain yaitu:
1. Masih berlakunya landrente untuk bagian yang
dipergunakan oleh pemerintah;
2. Masih adanya cukai-cukai (pasar, jalan),
yang kerapkali digadaikan kepada orang-orang Cina.
3. Pegawai-pegawai yang berkewajiban mengawasi
pekerjaan rakyat bertindak sewenang-wenang, semata-mata untuk menambah upah
mereka yang didasarkan atas banyaknya hasil bumi yang dikumpulkan;
4. Rakyat masih mempunyai kewajiban-kewajiban
lain, misalnya rodi dan ronda.
Ternyata
Culturstelsel menyebabkan rakyat
Indonesia menjadi semakin
miskin,
sehingga di beberapa daerah yang kurang subur mulai diserang bahaya kelaparan.
Satu-satunya daerah yang tidak menderita hanyalah di Pasuruan, sebab hasilnya berlimpah sehingga para penanam
mampu membayar buruh sawah yang mengerjakan tanahnya.
Di sisi lain, keuangan Hindia
Belanda berlimpah, bahkan mampu menyelesaikan krisis keuangan Negeri
Belanda. antara tahun 1830-1877. Lebih dari 900 juta golden mengalir dari
Indonesia ke Belanda. Dengan uang itu Belanda mampu membayar hutangnya kepada
Inggris, mengganti uang yang dihabiskan dalam perang dengan Belgia, membiayai
perusahaan-perusahaan Belanda, dan membuat jalan-jalan kereta api di Negeri Belanda (Khoo,
1971 : 32).
2.2 Politik
Kolonial Liberal (1850-1870) yang diterapkan di Indonesia
UUD
Belanda tahun 1814 mengatakan bahwa kekuasaan
tertinggi atas daerah-daerah jajahan semata-mata dipegang oleh raja.
Ini berarti, bahwa di daerah-daerah kekuasaan Belanda di
luar Eropa, termasuk Indonesia, tidak turut campur dalam pemerintahan, misalnya:
(1) Sesudah Culturstelsel
berjalan di Indonesia, maka mengalirlah uang ke dalam kas negeri Belanda.
Pemasukan uang itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi tentang
caranya pemerintah mendapatkan uang itu dirahasiakan benar-benar.
(2) Menteri daerah jajahan van den Bosch
mengusulkan, agar daerah jajahan memikul sebagian dari hutang piutang Negeri
Belanda. Usul ini ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat, bukan lantaran cara
mendapatkan uang itu, tetapi lantaran caranya raja
mempertanggungjawabkan pemakaian uang
itu.
Dengan
demikian daerah jajahan itu sebetulnya ada
di dalam genggaman raja Belanda. Tak ada badan atau orang yang
mengkritik cara-caranya memerintah di daerah-daerah itu. Jika raja setuju
dengan suatu sistem yang dijalankan di Indonesia boleh dikatakan tak ada
kritik dikeluarkan untuk menguji baik-buruknya sistem itu. Kira-kira pada
pertengahan abad ke-19 di Eropa timbul suatu gerakan politik yang bertujuan
mendorong kepada pemerintah agar rakyat diajak pula berunding dalam
pemerintahan. Di negeri Belanda gerakan tersebut juga ada. Di dalam dewan perwakilan rakyat
mereka masih menjadi golongan yang terkecil. Tetapi dalam suatu rapat mereka berani memajukan
usul, supaya diadakan perubahan-perubahan dalam pemerintahan daerah jajahan,
terutama tentang kekuasaan raja dalam pemerintahan itu.
Mula-mula
usul itu oleh parlemen tidak diterima, tetapi ketika dalam tahun 1848 di
beberapa negara di Eropa berkobar pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintahan
yang ada, terpaksalah pemerintah Belanda mengubah pasal-pasal UUD yang
berkaitan dengan kekuasaan raja atas daerah jajahan. Pasal-pasal itu diubah sedemikian rupa,
sehingga tiap-tiap tahun raja Belanda diharuskan menyampaikan pertanggungjawaban
tentang pemerintahan daerah jajahan kepada parlemen. Ternyata tahun 1848
benar-benar merupakan titik balik, sebab mulai tahun itu ada kesempatan untuk
melakukan perubahan pemerintahan lewat parlemen. Pada tahun 1854 Regeerings
Reglement (RR) memberikan dasar bagi pemerintahan kolonial.
Prinsip
liberal tentang kebebasan individu, keamanan hak-hak dan usaha-usaha di dalam RR itu adalah
esensial (Day, 1966 : 237).Dengan adanya konstitusi kolinial itu mulailah standar
baru bagi pemerintahan di
Indonesia dan dipaksakanlah politik yang lebih liberal. Sejak itu menyusullah beberapa peraturan baru
yang menghilangkan beberapa penyelewengan. Akhirnya tanaman-tanaman
pemerintah yang kurang penting seperti indigo, tembakau, teh, dihapus.
Pelaksanaan prinsip-prinsip liberal tidak
hanya berarti terbaginya kekuasaan pemerintahan
dengan parlemen, tetapi juga berarti dilancarkannya kritik mengenai segala persoalan
kolonial. Usaha-usaha kaum liberal untuk mengadakan sejumlah pembaharuan didasarkan
pada doktrin ekonomi politik klasik dan ditujukan untuk melawan monopoli dan
pemaksaan. Tujuan-tujuan ini diperjuangkan dengan sungguh- sungguh dan tidak
terbatas pada persoalan-persoalan kolonial (Kartodirdjo,1980 : 18).
Politik ekonomi kaum liberal adalah perbaikan
dari politik yang dijalankan oleh Willem I. Kemudian kedua sistem tersebut
dicampur, sehingga kerajaan Belanda harus menarik diri dari segala campur tangan, segala rintangan terhadap inisiatif individu dan kebebasan harus
dihapuskan, dan segala bantuan pemerintah kepada usaha swasta harus dihentikan.
Kesemuanya itu berarti tumbuhnya politik
merkantilisme dan proteksionisme. Konsekuensinya hak istimewa
perusahaan-perusahaan nasional dihapus. Tindakan-tindakan ini sebagian disebabkan karena
kepatuhan ideologis golongan liberal dan sebagian juga karena tekanan-tekanan
politik dari pihak Inggris. Kecenderungan umum di Eropa yang menuju ke
perdagangan bebas menyebabkan Belanda menghapus peraturan-peraturan
proteksinya. Kebetulan pada waktu itu
terdapat orang-orang seperti Baron van Hoevell dan Multatuli (Douwes Dekker) yang
mengendaki juga perubahan-perubahan yang sedikit banyak akan memperbaiki
keadaan di Indonesia. Terutama Culturstelsel
menjadi sasaran
kritis mereka. Douwes Dekker membentangkan
kekejaman-kekejaman sistem
ini
dalam bukunya yang terkenal, Max Havelaar.
Sebagai
tokoh lain yang mengendaki perubahan daerah jajahan ialah van der Putte,
menteri daerah jajahan, yang terkenal sebagai orang progresip. Bukan saja ia setuju dengan
saran-saran yang diberikan oleh van Hoevell, tetapi saran-saran itu
dipraktekkan pula, sehingga banyak sekali aturan-aturan yang tidak sesuai
dengan zaman dihapuskan, untuk kemudian dikeluarkan peraturan-peraturan baru.
Begitulah penyerahan paksa cengkeh dan pala di Maluku, tanam paksa di Jawa,
kecuali gula dan kopi, dihapuskan (tanam paksa gula dihapuskan tahun 1870, dan
kopi tahun 1920).
Berkat
perjuangan van der Putte dalam tahun 1867 keluarlah Undang-Undang
Perbendaharaan (Comtabilitet) yang
menentukan, bahwa anggaran belanja untuk Indonesia ditetapkan oleh parlemen dan
pengawasan dijalankan oleh Dewan Pengawas Keuangan Negara (Rekenkamer). Dengan
aturan ini parlemen ikut campur juga dalam pemerintahan daerah jajahan.
2.3 Imperialisme
Modern pada tahun 1830-1901 yang diterapkan di
Indonesia
Pada tahun 1870 keluarlah
Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) yang disusun oleh menteri de Waal.
Undang-undang ini menerangkan bahwa:
(1) Pemerintah berhak menyewakan tanah yang tidak dipergunakan
penduduk asli selama 75 tahun, kepada
bangsa asing. Peraturan ini disebut erfpacht artinya tanah yang dapat diwariskan.
(2) Penduduk asli tidak boleh menjual tanahnya
kepada orang asing, tetapi
boleh menyewakannya (misalnya untuk
tanaman tebu).
(3) Tanah-tanah
yang tidak dimiliki oleh siapapun juga, menjadi hak milik pemerintah.
Ada dua macam tanah, yaitu:
1. Tanah
bebas: (egendom (milik sendiri), recht van opstal (untuk mendirikan
bangunan, erfpacht (tanah sewa selama 75 tahun), dan lain-lain.
2. Tanah
tidak bebas: milik anak negeri, tanah swasta, yaitu tanah yang dijual
bangsa asing oleh pemerintah.
Tanah
tidak bebas tidak boleh pindah dari tangan anak negeri. Maksudnya ialah supaya anak negeri tidak
terdesak oleh bangsa lain, tetapi perlindungan itu tidak dijalankan. Beribu-ribu
anak negeri menyewakan tanahnya kepada bangsa lain, misalnya untuk menanam
tebu, tembakau dan lain-lain.
Dengan dihapuskannya Culturstelsel secara berangsur-angsur, maka tanaman wajib
pemerintah diganti dengan perkebunan-perkebunan yang diusahakan oleh
pengusaha-pengusaha swasta. Kalau di satu pihak modal Belanda diekspor maka di
lain pihak modal asing, khususnya Jerman, di tanam di beberapa cabang industri
di Negeri Belanda.
Dengan perkembangan baru tersebut maka berarti
liberalisasi politik
perdagangan Belanda
yakni pembukaan Negeri Belanda bagi perdagangan
internasional. Sebagai
negara kecil di antara negara-negara besar dengan industri- industrinya yang sudah
maju, maka sudah selayaknya kalau Negeri
Belanda mengarahkan dirinya ke konstelasi ekonomi umum.
Dengan adanya UU Agraria berarti Belanda
menganut politik pintu terbuka, yang
berarti pemerintah kolonial memberi kesempatan kepada kaum modal asing (Belanda, Inggris,
Amerika) untuk nenanamkan modal
sebanyak-banyaknya ke Indonesia. Sistem baru ini membuat Belanda tidak
langsung memeras rakyat tetapi lewat kaum kapitalis itulah rakyat Indonesia
diperas. Dengan demikian politik kolonial liberal (1850-1870) berkembang menjadi imperialisme modern.
Penanaman modal di Indonesia terutama terjadi
pada industri gula, timah, dan tembakau yang mulai berkembang sejak tahun 1885.
Dengan demikian politik kolonial liberal yang semula menghendaki liberalisasi
tanah jajahan lalu politik itu
berkembang menjadi bagaimana mengatur tanah jajahan untuk memperoleh uang.
Perubahan
tersebut terjadi karena munculnya kaum liberal dibarengi dengan munculnya kaum
borjuis yang mempergunakan slogan-slogan liberal untuk membenarkan tuntutan
mereka memperoleh kekuasaan politik. Memang kelas-kelas tertentu di antara
bangsa Belanda mempunyai kepentingan ekonomi di daerah-daerah jajahan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1)
Mencermati kebijakan ekonomi kolonial antara tahun 1830-1901
diwarnai
oleh perkembangan moral kolonial, yakni dari kerakusan yang tamak menuju ke
politik bermoral. Hal ini dapat diketahui perkembangan Culturstel, Politik Kolonial Liberal, dan Imperialisme Modern.
2) Meskipun secara
lahiriah kebijakan ekonomi kolonial itu tampak ada
perkembangan
moral yang positif, tetapi kalau dilihat secara mendalam, terbukti perkembangan
moral yang positif itu hanya suatu kedok untuk mengelabuhi parlemen Belanda
atau dunia internasional yang memang sudah semakin liberal.
3) Walaupun demikian, perkembangan kebijakan ekonomi kolonial
Belanda
1830-1901 memberikan dampak yang positif pula bagi bangsa Indonesia. Pada saat
itu rakyat mulai mengenal tanaman-tanaman yang laku dalam pasar dunia.
Sementara itu saluran-saluran air yang digunakan oleh perkebunan Belanda
menyebabkan tanah-tanah rakyat bisa teraliri air dari sisa-sisa air dari
perkebunan itu. Di samping
itu,
sekolah-sekolah untuk kaum pribumi mulai berkembang.
3.2 Saran
1. Untuk Masyarakat
Seharusnya masyarakat tetap terus menjaga, merawat, dan
melestarikan keberadaan situs–situs peninggalan bersejarah khususnya pada masa
kolonial.
2. Untuk Pemerintah
Seharusnya pemerintah juga memberikan dana yang cukup untuk perawatan
dan pengarsipan dokumen–dokumen hasil tinggalan pada masa kolonial khususnya.
Daftar Pustaka
Day,
Clive. 1966. The Dutchin Java.
Kualalumpur: Oxford University Press.
Hall,
D.G.E. 1964. A History of South East Asia
(Edisi Kedua). London:
Macmillan.
Kartodirdjo,
Sartono. 1980. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan
Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme.
Jakarta: PT
Gramedia.
Khoo,
Gilbert. 1976. Sejarah Asia Tenggara
sejak Tahun 1500. Kualalumpur:
Penerbit Fajar Bakti SDN BHP.
Tag :
MAKALAH BAHASA INDONESIA
0 Komentar untuk "CONTOH MAKALAH KEBIJAKAN EKONOMI KOLONIAL PADA TAHUN 1830 – 1901 YANG DITERAPKAN DI INDONESIA"